Harapan dengan penuh keyakinan itu terpancar dari wajah anak berseragam putih merah itu. Wajah polos dengan tas berjalan menelusuri jalanan di pematang sawah. Tak lama serombongan anak-anak dengan seragam yang sama pun mengikuti. Sebuah wajah keceriaan dan keluguan canda membalut perjalanan sepulang dari sekolah.
Tidak ada beban, pun masalah yang dihadapi anak-anak itu. Mereka hanya tahu belajar dan meraih nilai terbaik untuk lulus dan melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Tak terpikir oleh mereka bagaimana sistem pendidikan dan bagaimana kebijakan ujian nasional yang hendak mereka hadapi. Tidak terbayang pula oleh mereka, ke perguruan tinggi mana kelak mereka menuju. Itupun kalau ada biaya untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Itulah potret anak didik kita di pedesaan. Masih banyak ketidakjelasan nasib yang harus mereka terima dengan beban sosial yang ada di sekitarnya. Belum lagi fasilitas sekolah hingga gedung sekolah
yang banyak mengalami kerusakan. Tidak itu saja, seperti yang sering kita baca di media, banyak juga anak-anak yang putus sekolah lantaran harus membantu ekonomi orang tuanya.
Elit pemegang kebijakan berlomba dengan retorika anggaran 20 % untuk pendidikan. Begitu juga dengan gaji guru yang masih kecil alokasinya yang sering berujung pada unjuk rasa. Janji-janji 20% APBN-APBD untuk pendidikan sering ’dijual’ untuk mengait simpati masyarakat bahkan hingga pendidikan gratis ketika pemilu atau pilkada.
Sistem pendidikan memang sudah baik pada tataran normatif. Namun sangat tidak baik pada tataran implementatif. Masih tidak seimbangnya tataran regulasi dan tataran pelaksanaan menjadi masalah sehingga output yang dihasilkan pun jauh dari harapan. Padahal globalisasi saat ini mensyaratkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
Kualitas yang diharapkan adalah penguasaan sains serta teknologi terutama yang kini sedang nge-trend yaitu teknologi informasi dan komunikasi. Kualitas itu tentu dibalut bersama kemampuan moral
spritual dan kultural untuk melahirkan peserta didik yang berkarakter.
Kalau kita lihat filosofi pendidikan yang disampaikan Paulo Freire, seorang pendidik multikultural dari Brazil, pendidikan harus mencapai pengenalan realitas. Pendidikan dilakukan untuk mencapai pembebasan beranjak dari kondisi objektif dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Kondisi ini sangatlah jauh bila dilihat dengan sistem pendidikan kita. Potret buram ini berawal dari jauhnya realitas dengan sistem yang diciptakan.
Sebut saja misalnya kondisi ekonomi masyarakat kita yang tinggal di pedesaan dan masih tergolong ekonomi menengah ke bawah tidak menjadi pijakan dalam menentukan s i s t em pendidikan. Sekolah hingga perguruan t inggi menjadi industri yang mementingkan profit. Dampaknya adalah yang berhak mengenyam pendidikan adalah mereka yang memiliki kapital. Sekolah tumbuh menjadi industri kapitalis dan jauh dari misi sosial kemanusiaan.
Bagaimana dengan Hindu?
Pendidikan adalah investasi jangka panjang untuk mencapai output SDM yang berkualitas melalui proses yang menyadarkan (pembebasan). Hal inilah yang harus kita sadari sebagai ketertinggalan yang harus terus dikejar.
Tingkat pendidikan umat Hindu yang masih rendah harus terus diupayakan untuk mencapai kualitas pendidikan. Saatnya umat Hindu fokus pada pembangunan content yaitu SDM dengan berbagai kaderisasi-kaderisasi yang diperoleh melalui pendidikan. Pendidikan menjadi sangat vital dalam pembangunan sumber daya umat yang pada saatnya nanti dapat meningkatkan bidang lainnya
seperti ekonomi, kesehatan dan bidang-bidang lainnya.
Sebagai renungan kita, hasil keputusan Pesamuhan Agung Parisada tahun 2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendidikan dalam latar belakangnya menjelaskan bahwa dari sensus tahun 1980 sampai 2000 umat Hindu memiliki tingkat buta huruf yang tertinggi. Tahun 1980 tingkat buta huruf umat Hindu sebesar 38% kemudian turun menjadi 25% pada tahun 1990. Sedangkan tahun 2000 menjadi 16,9%. Angka itu rupanya masih tertinggi bila dibandingkan dengan umat Islam (11,2%), Protestan (10,2%), Katolik (10,4%). Dan yang paling rendah adalah umat Budha yaitu hanya 6,6%.
Dari realitas itu, sudah seharusnya kini umat Hindu fokus pada pendidikan. Tanpa itu semua, kita hanya menjadi kaum marjinal di tengah pentas persaingan global. Dan dampaknya juga berimbas kepada masyarakat nasional sebagaimana umat Hindu merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Imbas terbelakang tidak hanya dialami oleh umat Hindu tapi juga bangsa dan negara ini. Di sini peran prioritas pendidikan yang harus didukungan oleh segenap elemen umat menjadi penting.
2 Mei adalah hari pendidikan nasional. Semoga momentum ini menjadi renungan kita bersama untuk bangkit dan terbebas dari penindasan seperti yang dicita-citakan Paulo Freire.
