Perkembangan tanggung jawab sosial (social responsibility) sepenuhnya terkait dengan kewajiban entitas bisnis kepada masyarakat. Tanggung jawab ini kemudian menyatu dalam tanggung jawab ekonomi, hukum, etika dan kebijakan (Carroll, 1979).
Kendati demikian, di Indonesia pelaksanaan CSR sering melalui ‘CSR broker’ berupa yayasan, badan-badan yang dibentuk oleh masyarakat baik berupa ormas, maupun institusi keagamaan. Bahkan, pemerintah daerah (pemda) pun tak mau tertinggal untuk turut menjadi penyalur CSR kepada masyarakat.
Keterlibatan pemda ini dapat dilihat dari banyaknya regulasi yang mengatur penyaluran CSR berupa peraturan daerah (perda). Terbitnya perda-perda CSR di daerah tentu menguntungkan pemda karena ada unsur ‘memaksa’ perusahaan-perusahaan untuk menyalurkan CSR kepada pemda atau minimal perusahaan tak dapat mengelak untuk menyalurkan CSR kepada masyarakat.
Terlepas dari praktek yang terjadi di Indonesia tersebut, CSR sesungguhnya bersifat sukarela atas kesadaran perusahaan sebagai wujud tanggung jawab perusahaan terhadap keberlangsungan usahanya. Jadi sesungguhnya, ketika perusahaan berniat untuk menjaga keberlangsungan usaha, maka perusahaan wajib menyalurkan CSR dengan kesadaran dan kesukarelaan tanpa adanya regulasi yang mengaturnya.
Pelaksanaan CSR di Indonesia harus disadari sebagai sebuah proses. Dari sisi perusahaan, tak sepenuhnya perusahaan memiliki kesadaran dan kesukarelaan untuk menyalurkannya tanpa adanya paksaan melalui regulasi. Sebalikya dari sisi pemerintah, menjadikan CSR semacam sumbangan wajib karena melihat adanya dana yang cukup besar untuk dapat dikelola dalam pembangunan daerah.
Fenomena CSR seperti inilah yang terjadi saat ini di Indonesia. Peran aktif masyarakat, dan pemerhati CSR diperlukan untuk menjaga transparansi pelaksanaan CSR tersebut.
