Arise Arjuna!

Janganlah bertindak sebagai seorang pengecut, oh Arjuna! Tiada laba yang akan kau petik dari kelakuanmu ini. Buanglah jauh-jauh kelemahan hatimu. Bangkitlah, wahai Arjuna! [BG II.3]

Arise Arjuna ! Bangkitlah, wahai Arjuna. Pesan dari sloka dalam Bhagavad Gita tersebut mengingatkan kita, bahwa kita sebagai pemuda memiliki peran sekaligus tanggung jawab yang besar pada masa kini, maupun masa depan. Pesan tersebut digaungkan dalam pertemuan World Hindu Youth Conference (WHYC) yang diselenggarakan Peradah Indonesia bersama KMHDI akhir Maret 2013 lalu di Bali.
Pertemuan pemuda dan mahasiswa Hindu dari berbagai negara ini digagas sejak 2010 lalu sebagai sarana untuk memperluas networking dan saling membuka wawasan dan pemikiran terhadap peradaban umat manusia masa depan. Selain itu, pertemuan pemuda dan mahasiswa tersebut diharapkan menjadi daya dorong bagi Peradah dan KMHDI dalam meningkatkan kemampuan akses program-program dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
Lantas, apakah conference itu hanya berlalu begitu saja? Tentu saja tidak. Bangunan networking tersebut akan terus diperkuat melalui realisasi-realisasi program yang dapat memperkuat pembangunan dan kaderisasi anggota Peradah maupun KMHDI. Sebut saja misalnya, program beasiswa maupun peningkatan capacity building anggota.
Tentu saja apa yang kita harapkan tidak secepat membalikan telapak tangan, semuanya butuh proses dan komitmen kita bersama untuk menerima hasil yang optimal. Dan harapan penting adalah semoga semangat Arjuna terus tumbuh dalam semangat jiwa para pemuda dan mahasiswa Hindu, yang dapat berperan sebagai Arjuna-Arjuna masa kini.
Ya, tepat rasanya bagi kita semua menjadi Arjuna masa kini. Arjuna yang terus bangkit dari kegundahan, dan keragu-raguan. Arjuna masa kini yang terus terus bekerja, dan bekerja tanpa pamrih. Ya, bangkitlah, wahai Arjuna. Arise Arjuna….

gubernurbali2

Sumpah Pemuda dan Kemandirian Pemuda

Sumpah pemuda 28 Oktober 1928 menjadi pengikat bagi kelanjutan perjuangan mencapai kemerdekaan pada tahun 1945. Para pemuda meneguhkan hati untuk memperkokoh bangunan berbangsa dan bernegara dengan bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa yang satu. Kekuatan dari kebulatan tekad pemuda kala itu menjadi inspirasi sekaligus pemersatu pembangunan kaum muda hari ini.

Kebulatan tekad pemuda 82 tahun yang lalu tersebut terus menginspirasi gerakan kaum muda dalam merajut bangunan berbangsa dan bernegara yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah dicapai tentu saja tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran kaum muda sebagai pencetus sekaligus pewaris bangsa Indonesia.

Perjuangan para pemuda tidak hanya berhenti setelah mencapai cita-cita kemerdekaan. Pergulatan dalam mengisi dan mempertahankan kemerdekaaan menjadi dinamika tersendiri bagi ranah perjuangan para pemuda Indonesia. Tuntutan dan pesan luhur bagi pemuda akan terus memiliki nilai keberlanjutan dari masa ke masa dengan tantangan dan dinamikanya tersendiri.

Setiap jaman melahirkan generasi muda yang berbeda-beda. Kaum muda kemudian dihadapkan pada pilihan-pilihan dan salah satunya adalah kekuasaan. Tidak sedikit kaum muda yang kemudian masuk dalam ranah kekuasaan yang pada akhirnya bergelut dengan berbagai kepentingan kekuasaan dan politik. Berbagai generasi akhirnya terjebak kepada pola kerja dan tuntutan kekuasaan sehingga tidak jarang terjadi benturan idealisme dan kepentingan.

Idealisme Pemuda
Idealisme pemuda seharusnya mampu membawa bangsa ini menuju perbaikan dan kemajuan dalam berbagai sektor kehidupan. Lingkaran kekuasaan baik eksekuif, legislatif, dan yudikatif terlalu banyak membawa kepentingan sehingga terus menggerogoti idealisme dan melunturkan karakter kaum muda.

Tidak saja di lingkaran kekuasaan, kaum muda yang kemudian memilih jalur-jalur profesional pun tergerus oleh kompetisi global yang semakin menghimpit berbagai sektor-sektor kehidupan. Dan perjuangan kaum muda pun perlu merevitalisasi pola pembangunan karakter untuk menghadapi persaingan tersebut.

Lunturnya idealisme dan karakter kaum muda tersebut bisa saja karena tidak dipersiapkannya kompetensi sebagai bekal kaum muda dalam menghadapi persaingan global. Kompetensi yang sedikit kemudian melunturkan karakter kaum muda yang berimbas pada daya juang dan semangat kaum muda secara umum.

Kemandirian Ekonomi
Lunturnya idealisme kaum muda dalam perjuangan tidak bisa lepas dari benturan kebutuhan ekonomi. Di tengah kompetisi global, kaum muda tidak cukup hanya berbekal idealisme semata. Idealisme perlu dibarengi dengan kemandirian sehingga mampu menciptakan kaum muda yang berdikari secara ekonomi.

Tuntutan kemandirian secara ekonomi, bagi penulis, perlu dilakukan oleh kaum muda hari ini untuk meneruskan kebulatan tekad perjuangan mencapai kemerdekaan yang telah dilakukan oleh para pemuda 82 tahun lalu. Konteks hari ini telah menuntut adanya kekuatan ekonomi yang harus dimiliki untuk meneruskan cita-cita sehingga kemandiran bangsa terus dapat dijaga.

Soekarno, Presiden pertama RI menyampaikan tiga hal yang perlu dilakukan untuk mencapai bangsa yang mandiri. Ketiga hal tersebut kemudian dikenal dengan trisakti; (1) berdaulat secara politik, (2) berdikari secara ekonomi, (3) berkepribadian secara sosial budaya. Soekarno menekankan ketiga hal tersebut sebagai bagian yang saling terkait untuk mencapai kemandirian bangsa.

Kaum muda sudah seharusnya merenungkan makna dari trisakti tersebut sebagai inspirasi untuk mampu membangun kekuatan ekonomi, politik, dan sosial budaya sebagai karakater kaum muda yang tidak tergoyahkan. Berdikari secara ekonomi, bagi penulis dalam konteks hari ini merupakan kekuatan untuk mampu mencapai kedaulatan politik, dan kepribadian sosial budaya.

Dengan berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan memiliki kepribadian secara sosial budaya, idealisme kaum muda tidak akan mampu ‘dibeli’ dengan berbagai kepentingan. 82 tahun sumpah pemuda merupakan refleksi bagi bangsa Indonesia khususnya kaum muda untuk terus merevitalisasi nilai-nilai sumpah pemuda guna membangun kaum muda yang berkarakter.

Sudah saatnya kaum muda terbangun dari romantisme masa lalu dan bangkit dalam realitas hari ini; memperkuat karakter dan membangun kompetensi. Hal inilah yang akan mampu mengantarkan kehidupan mandiri dalam negara demokrasi yang berdasarkan hukum dan berkeadilan sosial. #

Nyepi untuk Ketenangan Negeri

Pekan ini umat Hindu Indonesia merayakan hari raya Nyepi tahun baru saka 1932. Seperti biasanya berbagai rangkaian kegiatan untuk menyambut perayaan Nyepi dilakukan, seperti Melasti hingga Dharma Santi. Hari raya Nyepi jatuh pada tanggal 16 Maret 2010 mendatang. Pada hari tersebut umat Hindu akan melaksanakan brata penyepian.
Pada saat Nyepi tersebut, umat Hindu melakukan amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungaan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak berpoya-poya/ tanpa hiburan).
Diharapkan melalui brata penyepian tersebut, umat Hindu dapat menemukan jati diri untuk melangkah lebih baik lagi pada tahun berikutnya. Melalui kontemplasi yang penuh makna untuk mencapai kesadaran diri, umat Hindu berharap terwujudnya kedamaian diri, bangsa dan negara.
Tentu saja kedamaian menjadi harapan setiap umat manusia karena dengan damai dapat terwujud sinergi untuk saling mengisi dalam aktivitas apapun. Dan berangkat dari kesadaran serta kedamaian dalam diri ini kita dapat melangkah lebih luas lagi untuk menciptakan kesejahteraan baik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kedamaian untuk Negeri
Makna Nyepi tidak saja untuk ketenangan diri, melainkan juga untuk masyarakat yang lebih luas lagi. Melalui kesadaran diri diharapkan dapat memberikan dampak bagi pembangunan masyarakat sekitar. Dengan demikian akumulasi kesadaran dan kedamaian diri memberi dampak bagi pembangunan negeri.
Tercapainya kedamaian negeri akan mengantarkan kesejahteraan bagi masyarakat. Akhir-akhir ini kondisi politik-lah yang membuat suasana negeri kian ‘panas’. Setiap hari masyarakat selalu disuguhkan sajian media terkait dengan kondisi perpolitikan negeri. Kondisi ini tentu saja sedikit melupakan kemajuan sektor lainnya seperti ekonomi, budaya, maupun pertahanan keamanan.
Hasilnya, banyak sektor yang mengalami gangguan, pun pemerintah tentu saja akan sulit untuk fokus pada program-program pro masyarakat. Bila kondisi ini berlarut-larut akan sangat susah untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini bisa saja terjadi sebab masing-masing pihak hanya berupaya untuk mempertahankan kondisi saat ini saja tanpa melihat keberlangsungan masa depan. Untuk itu perenungan yang dalam perlu dilakukan elit bangsa ini untuk melihat dan melangkah bersama memajukan negeri.

Politik Mendominasi
Beberapa minggu lalu, konstelasi politik nasional menjadi sorotan tajam terkait dengan kasus Bank Century. Kondisi ini mengantarkan puncaknya pada rapat paripurna DPR RI. Tentu saja lobi-lobi politik dilakukan begitu kencang terkait pilihan-pilihan keputusan yang diambil. Pun pasca paripurna DPR RI tersebut masih berlanjut kepada hangatnya kondisi perpolitikan di Indonesia.
Tentu saja kondisi-kondisi lainnya seolah tidak mendapat perhatian serius sehingga berpotensi mengalami kemunduran. Bila fokus dan stabilitas nasional didominasi oleh ramainya politik, dikhawatirkan akan mempengaruhi kondisi perekonomian yang muaranya akan semakin memperbesar jurang kemiskinan.
Dengan kondisi bangsa dan negara yang sedang merajut pembangunan menuju perekonomian yang kuat, sulit rasanya bila tidak dimulai dari kuatnya perekonomian berkelanjutan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini dan masa yang akan datang. Dengan kuatnya perekonomian, negara dan pemerintah dapat memberikan manfaat yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Melalui momentum ini sudah saatnya kita bersama-sama membangun berbagai sektor kehidupan dengan semangat politik kebersamaan untuk memajukan masyarakat Indonesia. Politik kebersamaan ini mengutamakan kepentingan bangsa dan negara menuju kesejahteraan masyarakat dalam bingkai demokrasi dan keadilan sosial.
Rasanya makna Nyepi dalam perenungan dan intropeksi sangat relevan untuk merajut kebersamaan membangun negeri. Melalui intropeksi diri sudah saatnya kita bersama-sama berbuat dan bertindak untuk kepentingan bersama, bukan lagi untuk kekuasaan semata. Keanekaragaman budaya, suku, agama, dan masih banyak lagi yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan tali untuk mempererat ikatan kebersamaan. Saatnya tenangkan diri, membangun negeri, mari Nyepi…

Wayan Sudane
Peminat Social Responsibility; Ketua DPN Peradah Indonesia
Tulisan dimuat di Lampung Post

Cangkuang; Kami Pun Tak Melupakan

#repost
Hembusan angin dan panorama pagi itu (27/12) mengantarkan alam pikiran kita akan keindahan bumi Nusantara ini. Jalanan yang diapit oleh sawah dan semak-semak ditambah dengan birunya perbukitan menggiring kesejukan hati untuk tulus dan berbhakti.
Tak lama melintasi pemandangan itu, kami pun tiba pada tujuan. Cangkuang. Ya, Cangkuang adalah nama desa yang ada di kecamatan Leles, kabupaten Garut, Jawa Barat. Didesa inilah terdapat sebuah Candi, tepatnya di sebuah pulau kecil yang bentuknya memanjang dari barat ke timur dengan luas 16,5 ha.
Mengutip id.wikipedia.org, Candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti Harsoyo dan Uka Candrasasmita berdasarkan laporan Vorderman (terbit tahun 1893) mengenai adanya sebuah arca yang rusak serta makam leluhur Arif Muhammad di Leles. Walaupun hampir bisa dipastikan bahwa candi ini merupakan peninggalan agama Hindu (kira-kira abad ke-8 M, satu zaman dengan candi-candi di situs Batujaya dan Cibuaya), yang mengherankan adalah adanya pemakaman Islam di sampingnya.
Dengan tempat yang berada ditengah danau Cangkuang, Candi ini memiliki nilai dan makna tersendiri bagi para pengunjungnya.

Seperti Apa Komunikasi Politik umat Hindu ?

Seperti kita saksikan diberbagai media baik cetak maupun elektronik, banyak pakar dan elit politik menyampaikan bahwa tahun 2009, akan diriuhkan dengan berbagai agenda politik dalam ajang pemilihan umum (pemilu) legislatif (DPR, DPRD, DPD) yang disusul dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Tak heran lantas banyak kalangan menyebut tahun 2009 ini sebagai tahun politik. Tahun dimana akan terjadi integrasi antara berbagai kepentingan baik kelompok maupun kepentingan bangsa dan negara.
Kita pun selalu disajikan dengan berbagai adegan politik melalui berbagai keputusan yang fenomenal ditengah mepetnya waktu penyelenggaraan pemilu yang tinggal beberapa bulan lagi. Misalnya saja keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 tentang pemilu. Hasilnya penetapan anggota legislatif untuk Pemilu 2009 akan ditentukan dengan sistem suara terbanyak.
Keputusan itu tentu dapat mendorong proses demokrasi yang substansi ditengah banyaknya keraguan kepada partai politik. Sang calon legislatif (caleg) pun didorong bekerja lebih giat untuk memperoleh suara dari pemilih. Sebuah proses demokrasi yang mulai terbuka ditengah pendidikan politik yang belum begitu baik. Kalau ini dapat berjalan baik, artinya para elit partai dapat menerima dengan lapang dada dan melaksanakan keputusan ini dengan bijak, politik di tanah air ini dapat dicapai dengan baik pula.
Pendidikan Politik
Tak dipungkiri proses demokrasi ini membawa dampak yang lumayan banyak bagi proses kehidupan bernegara umat Hindu. Proses ini tentu sebuah kewajiban dharma negara umat dalam mengawal proses kenegaraan yang diyakini tak lepas dari tuntutan politik. Artinya, kepentingan umat Hindu nasional dapat diperjuangkan melalui jalur-jalur politik. Untuk itu infrastruktur dan penguasaan beberapa elemen strategis sangat penting, salah satunya adalah legislatif baik kabupaten/ kota, provinsi, hingga nasional. Untuk itu semakin banyak umat Hindu menduduki posisi-posisi legislatif tersebut, tentu akan semakin baik pula kepentingan umat Hindu ter-aspirasikan di pemerintahan.
Masalahnya kemudian adalah pada proses pencapaian posisi legislatif yaitu untuk menduduki kursi dewan perwakilan rakyat (DPR). Politisi Hindu yang mencalonkan diri dibeberapa daerah dari berbagai partai politik tentu tidak lepas dari harapan kepada umat Hindu itu sendiri sebagai pemilihnya. Disinilah pendidikan politik dan kedewasaan politik umat Hindu diperlukan. Artinya juga harus ada koordinasi dan paradigma yang baik sehingga tidak terjadi eksploitasi kepentingan baik bagi sang calon maupun umat sebagai pemilih.
Dalam UU No. 2 tahun 2008 tentang partai politik dijelaskan bahwa pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nah, dari definisi itu dapat kita tangkap bahwa harus ada sebuah pemahaman antara pemilih dan yang akan dipilih (caleg) dalam suatu visi yang sama.
Dari kesemuanya itu, adakah sebuah proses pendidikan yang sudah dilakukan sang calon ? atau hanya sebuah retorika pencitraan yang melupakan proses pendidikan politik.
Beberapa hal yang harus dicermati adalah track record dari sang calon, yang tentu terkait dengan latar belakangnya. Tak sedikit juga para calon yang selalu mengumbar janji dalam komunikasi politik yang dilakukan. Ada keselarasan antara pendidikan politik yang belum baik ditutupi dengan kemasan kampanye super baik sehingga tertanam (positioning) citra produk politik yang baik.
Dengan ramainya hiruk pikuk pasar politik saat ini, sungguh sangat sulit membedakan antara kampanye politik dan kampanye pemilu. Menurut Firmanzah dalam bukunya Marketing Politik, antara pemahaman dan realitas, menjelaskan harus ada redefinisi kampanye. kedua hal ini memiliki perspektif yang berbeda. Misalnya dari dari tujuannya, kampanye pemilu cenderung menggiring pemilih ke blik suara, sedangkan kampanye politik lebih menitik beratkan pada image politik. Begitu juga dari strategi yang dilakukan, kampanye pemilu untuk melakukan mobilisasi dan berburu pendukung (push-marketing), sedangkan kampanye politik untuk membangun dan membentuk reputasi politik (pull-marketing). Nah, tentu kampanye politik memerlukan waktu yang cukup panjang, sedangkan kampanye pemilu cenderung jangka pendek, sesuai kebutuhan. Dari sinilah dapat dibaca track record sang calon legislatif maupun partai politik mengingat setiap aktivitas partai politik selalu menjadi perhatian masyarakat.
Masyarakat tentu dapat dengan cermat memperhatikannya, agar suara tidak sia-sia begitu saja. Sebuah ikatan relasional akan terbangun bila sang calon menyadari arti pentingnya politik dan konstituen yang ia wakili. Memberikan konstribusi bagi pembangunan umat Hindu melalui pola keterwakilan dalam pemerintahan.
Kondisi ideal ini sangat sulit dicapai karena berbagai hal, salah satunya adalah masih lemahnya infrastruktur umat Hindu. Salah satu indikatornya adalah dapat dilihat dari organisasi massa berbasis Hindu. Prajaniti Indonesia yang memang didedikasikan untuk mengakomodir kepentingan dan perjuangan politik umat Hindu tidak dapat berjalan dengan baik. Sementara organisasi lainnya memiliki fokus dan ladang garapan yang berbeda seperti Peradah Indonesia, lebih fokus pada pembinaan para pemuda, KMHDI lebih fokus pada kaderisasi para kader mahasiswa. Pun WHDI yang menaungi kegiatan wanita Hindu Indonesia.
Al hasil Parisada, sebagai majelis tertinggi terkadang tak luput harus mengakomodir dan melakukan ‘regulator’ berbagai kepentingan politik umat. Dalam arti Parisada pun harus menampung berbagai keluhan politik umat, belum lagi masalah pembinaan umat. Akhirnya majelis kita memikul beban masalah yang begitu berat. Selanjutnya patut juga dipertanyakan, kemana Prajaniti Indonesia yang seharusnya dapat lebih maksimal berperan sebagai ‘regulator’ perjuangan dan kepentingan politik umat Hindu ?
Pertanyaan selanjutnya adalah seperti apa komunikasi politik umat Hindu menjelang pemilihan umum 2009 ? Adakah yang berperan sebagai ‘regulator’ untuk mewadahi aspirasi umat Hindu dalam perjuangan kepentingan umat Hindu di tanah air ?

Mengenang Ajaran Gandhi

Ditengah banyaknya perlawanan terhadap junta militer Myanmar yang dilakukan para Biksu Budha mengingatkan kita pada perlawanan tokoh anti kekerasan, Mahatma Gandhi di India. Biksu sebagai pemegang otoritas moral turut turun kejalan memperjuangkan kebenaran. Hal ini tidak jauh berbeda seperti yang dilakukan Gandhi dengan prinsip anti kekerasan. Dengan nama lengkap Mohandas Karamchad Gandhi, pria ini lahir 2 Oktober 1869 di Porbandar, sekarang Gujarat diselah barat India.

Gandhi dengan ajaran anti kekerasan (ahimsa) yang dilakukan untuk kemerdekaan India telah memberi inspirasi kepada seluruh dunia. Dengan ajaran-ajarannya tersebut, hidup sederhana pun ia jalani. Dengan ahimsa perlawanannya cukup memberikan kekuatan kepada rakyat untuk turut serta melawan kekerasan. Ahimsa adalah perjuangan dengan kekuatan cinta dan kasih sayang. Perjuangan untuk tidak menyakiti baik fisik maupun pikiran sehingga ahimsa bukan semata-mata menyakiti secara fisik. Melainkan perjuangan untuk melawan suatu ketidakbenaran dengan energi yang positif.

Ajaran selanjutnya dari Gandhi adalah swadesi atau berusaha untuk mandiri dengan mencukupi kebutuhan diri sendiri. Ini tidak serta merta dilakukan begitu saja, namun harus dibangun sistem untuk menciptakan kekuatan baik pada diri maupun kepada rakyat. Misalnya membangun perekonomian yang menghidupkan kekuatan masyarakat sehingga menghilangkan ketergantungan pada pihak asing. Pendidikan juga memiliki peran penting dalam mewujudkan kemandirian ini, karena disinilah karakter masyarakat dibentuk untuk melakukan pengendalian diri.

Melalui satyagraha, berpegang teguh pada kebenaran yang dibarengi dengan teladan membuat Gandhi diikuti oleh banyak pengikutnya. Apalagi dengan ditambah kejujuran dan kesederhanaan Gandhi. Sebuah contoh yang ia lakukan sekaligus teladan bagi masyarakat India adalah gerakan untuk mencintai produksi dalam negeri. Tentu dampak dari tindakan semacam ini akan menghilangkan ketergantungan dengan produk-produk asing. Selain itu pemberdayaan ekonomi masyarakat menjadi tumbuh ditengah kompetensi dalam negeri.

Perlu Keseimbangan
Semangat yang dilahirkan Gandi tersebut memang membutuhkan perjuangan sekaligus teladan yang tidak mudah. Pemimpin adalah kunci dari pelaksanaan ajaran yang sangat universal tersebut. Pasalnya, ajaran tanpa kekerasan atau perjuangan perdamaian adalah anjuran semua agama kepada umatnya. Untuk melaksanakannya pun perlu suatu keseimbangan hubungan pemikiran. Keseimbangan tersebut meliputi hubungan kita kepada Tuhan, hubungan kita kepada sesama warga, dan hubungan kita kepada alam sekitar.

Hubungan kepada Tuhan jelas mengacu kepada ajaran agama yang disampaikan melalui kitab-kitab suci masing-masing agama. Gandi pun tidak terlepas dari tindakan ini. Bahkan ia menekankan pada puasa untuk mengendalikan diri dan meningkatkan kebijaksanaannya. Dalam hal ini, konteks bulan Ramadhan bagi umat Muslim sangat tepat untuk meningkatkan hubungan kepada Tuhan untuk meningkatkan semangat anti kekerasan.

Keseimbangan selanjutnya adalah dalam hal hubungan kemasyarakatan. Hubungan ini perlu dijalin dengan semangat pluralisme dimana dengan keanekaragaman yang ada justru harus dapat memperkuat posisi bangsa dan negara. Melihat kepada ajaran Gandhi tersebut, hubungan antar sesama manusia yang baik dapat terwujud bila semangat dari ahimsa dilaksanakan secara bijaksana. Tanpa menyakiti tidak saja secara fisik, namun lebih luas dari itu. Tidak semena-mena menghujat maupun menyinggung perasaan yang pada akhirnya merugikan orang lain. Tentu hal ini tergolong menyakiti orang lain.

Tidak itu saja, hubungan kita dengan alam sekitar juga perlu diseimbangkan. Harapannya terjadi sebuah harmonisasi yang selaras dengan alam yang memberikan dampak kepada kehidupan umat manusia. Tengok saja tindakan-tindakan yang merusak alam tanpa tanggung jawab. Penebangan hutan sembarangan misalnya, membuat sampah, dan sebagainya. Tentu semuanya akan bermuara pada kemarahan alam yang menerpa manusia sendiri.

Untuk itu perlu keseimbangan ketiga hal tersebut sebagai jalan untuk melaksanakan semangat dari ajaran-ajaran Gandhi. Dalam kontek kebangsaan misalnya, semangat ahimsa, satyagraha, dan swadesi perlu digalakkan untuk memerangi kemiskinan yang belum selesai dinegeri yang kaya ini. Kemandirian dan pemberdayaan perekonomian perlu adanya semangat ahimsa dengan tidak memotong dana atau mengkorupsinya. Dampaknya banyak rakyat yang tersakiti karena tidak menerima pelayanan seperti yang seharusnya.

Begitu juga dengan kemandirian bangsa, perlu dilihat kembali sudah sejauh mana bangsa ini ketergantungan dengan bangsa lainnya. Semangat-semangat dari ajaran Gandhi ini tentu masih sangat relevan untuk dilaksanakan oleh pemimpin-pemimpin di negeri ini. Relevansinya timbul karena semua masyarakat menginginkan perdamaian, kebenaran dengan penegakan hukum dan kemandirian bangsa.

Perjuangan ini tentu tidak mudah karena butuh pengendalian diri dan kebijaksanaan. Seperti apa yang dialami Gandhi. Sebuah perjuangan anti kekerasan yang ia lakukan harus berakhir dengan kekerasan. Ia harus mengakhiri gerakannya dengan mengenaskan karena tertembak mati pada 30 Januari 1948. Nathuram Godse, seorang Hindu fanatik membunuh Gandhi karena tidak setuju seruan damai yang Gandhi lakukan terhadap kelompok Hindu dan Islam. Walau demikian, ajarannya masih menggema memberi inspirasi kepada perdamaian di dunia. Semoga….

Memoar Kalteng

Sore itu, Senin (4/8) kami masih menyempatkan untuk melintasi jalanan di tengah kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Dengan niat menghilangkan pengat dan lelah, kami menelusi hamparan ujung penglihatan ditengah rimbun tanah bergambut. Dengan menggunakan taksi, sebutan untuk angkot, kami pun bergegas untuk kongkow di Jembatan Kahayan. Ya, sejak 2001 di tengah kota Palangka Raya terbentang jembatan yang melintasi sungai kahayan sepanjang 640 meter dengan lebar jembatan ini 9 meter. Diatasnya memiliki lengkungan yang sangat menarik. Jembatan ini bernama Jembatan Kahayan.

Kemudian tak jauh dari sungai Kahayan, kami singgah di tugu atau monumen peletakan batu pertama kota Palangka Raya. Tugu ini sebagai tiang pertama pembangunan kota Palangka Raya sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah. Tugu ini diresmikan oleh Presiden RI Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957.

”Adakah yang Memelihara Pohon itu?”

ADA sebuah kegelisahan yang dilontarkan oleh salah satu tokoh yang dituakan malam itu. Ia melihat tidak adanya generasi-generasi yang meneruskan kepemimpinannya. Ada sebuah kecenderungan anak muda kita tidak lagi perduli kepada lingkungan sosialnya. Ia menuturkan sangat jarang generasi dibawahnya terutama yang muda-muda mau berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan seperti ngayah, dan sebagainya.

Hal yang sama juga ternyata dirasakan oleh beberapa teman-teman yang aktif di kampus atau yang sering dipanggil aktivis kampus. Dalam sebuah obrolan ringan menjelang malam dengan seorang teman ada sebuah pertanyaan yang hampir sama dengan kegelisahan sang tokoh tadi. ”Mengapa mahasiswa-mahasiswa Hindu atau kader-kader muda Hindu kita tidak mau aktif dalam kegiatan sosial keagamaan?,” tuturnya.

Tidak berhenti disitu, pertanyaannya juga secara tidak langsung ternyata ditujukan kepada senior ataupun sang tokoh yang dituakan tadi. ”Mengapa senior dan ’orang tua’ kita tidak memberikan pembinaan sehingga ada sebuah proses transformasi? Dan yang ironis lagi, mengapa yang muda seolah terus dieksploitasi sementara tidak ada pembinaan kepada generasi muda tadi.”

Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin juga ada para generasi-generasi muda lainnya. Memang ada sebuah kecenderungan yang muda dituntut untuk memberikan kontribusi namun sering tidak dibarengi dengan pembinaan sehingga terjadi proses transformasi. Bagaimana mereka-mereka yang muda mau berkecimpung sementara tidak ada sesuatu nilai-nilai yang mereka dapatkan. Atau memang ada sebuah kepercayaan pada generasi tua seperti iklan ditelevisi bahwa yang muda belum dipercaya.

Mahasiswa yang notabene adalah kaum muda adalah generasi yang siap menampung nilai-nilai dari generasi yang lebih tua. Mahasiswa dan kaum muda adalah aset yang suatu saat akan mewarisi seluruh potensi yang ada. Bila ini tidak disadari dari sekarang dan tidak ada penanaman nilai-nilai yang dianggap benar sejak dini suatu saat kita akan kehilangan aset itu.

Mereka ibarat pohon, sebut saja pohon mangga. Untuk menghasilkan buah mangga yang segar dan baik (tidak busuk) pohon mangga tersebut harus dipelihara dengan baik pula. Tentu hasil atau buah tersebut tidak seketika. Ada sebuah proses yang harus dilakukan untuk mendapatkan buah yang baik. Pohon tersebut harus dipupuk secukupnya, pemberian pengobatan agar terhindar dari hama-hama maupun penyakit lainnya. Bila itu dilakukan secara baik tentu akan dihasilkan buah yang baik pula, segar dan enak untuk dimakan. Menjadi ironis kalau kita tidak pernah menanam pohon mangga, tidak pernah memeliharanya, kemudian mau memetik buahnya.

Analogi tersebut tampaknya berlaku juga untuk kaderisasi kaum muda. Kaum muda perlu mendapatkan ’pupuk’ berupa penanaman nilai-nilai yang diyakini membawa perubahan untuk perbaikan. Ketika semangat mereka surut perlu adanya dukungan yang akan menjadi ’air’ penyejuk sehingga mereka akan segar kembali. Kalau ini dilakukan kelak tentu mereka akan menghasilkan ’buah’ yang siap untuk dipetik.

Untuk memulai menanamkan nilai-nilai kepada kaum muda ada beberapa cara. Dari pengamatan penulis dapat dimulai dari bawah yang berarti ada dorongan dari kalangan muda itu sendiri untuk mengajak senior atau orang tua untuk bersama-sama menanam agar kelak ada suatu buah yang dihasilkan. Kedua, dorongan itu memang muncul dari atas yang berarti memang ada niatan dari senior atau orang tua untuk meneruskan sistem yang telah dibentuk agar ada kelangsungan dan perbaikan terus menerus. Ketiga karena ada suatu benturan sehingga ada paradigma baru untuk melahirkan sistem alias menanam kembali.

Faktor-faktor itu tentu akan menjadi wilayah penciptaan kader yang akan menghasilkan buah segar yang dapat dinikmati oleh si penanam ataupun siempunya. Lantas bagaimana distribusi buah-buah yang sudah siap tersebut? Dimana wilayah pasar atau dimana pasnya buah tersebut dijual agar memiliki pembeli dan harga pasar yang pas?

Itu juga akan menjadi masalah tersendiri. Faktor distribusi kader juga menjadi masalah kalau tidak disiapkan sejak awal. Begitu juga dengan posisi persaingan yang harus dilihat kedepan. Kalau tidak buah tersebut tidak akan memiliki nilai yang berarti karena hanya dapat dimakan sekali tanpa ada sebuah kontinuitas.

Untuk mewujudkan hal ini memang membutuhkan paradigma atau cara pandang sebagai suatu perjuangan yang akan memberikan manfaat dan hasil yang dicita-citakan. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan generasi Hindu akan ’naik kelas’?