Aliansi Organisasi Umat Hindu Ajak Hormati Keputusan KPU

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli lalu telah berlangsung secara tertib, aman, dan terkendali. Aliansi Organisasi Umat Hindu Tingkat Nasional pun menyampaikan apresiasi kepada seluruh warga Indonesia yang telah menggunakan hak pilihnya dengan bebas dan bertanggung jawab.

Meski suasana cukup kondusif, situasi politik dinamis yang diwarnai berbagai isu politik serta infomasi yang berkembang di masyarakat hingga menjadi perhatian publik pada suatu kekhawatiran. Oleh karena itu, Aliansi Organisasi Umat Hindu Tingkat Nasional mengajak semua pihak untuk mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menciptakan suasana tentram, rukun, tertib, dan damai menjelang dan/atau setelah penetapan hasil Pilpres 22 Juli besok. Aliansi ini merupakan gabungan dari Prajaniti Hindu Indonesia, Wanita Hindu Dharma Indonesia, Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia, dan Ikatan Cendikiawan Hindu Indonesia.

“Kepada Pemerintah patut juga kita sampaikan terima kasih karena telah mampu menyelenggarakan Pemilu dengan sebaik-baiknya,” ujar Ketua Umum Prajaniti Indonesia Laksdya (Purn) Si Putu Ardana Minggu, 21 Juli saat deklarasi damai organisasi kemasyarakatan Hindu di Jakarta.

Sedangkan Wayan Sudane Ketua Umum Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia mengatakan bahwa pilpres 2014 sebagai momentum untuk mengajak semua pihak dan komponen bangsa fokus terhadap perubahan ke arah yang lebih baik untuk membangun Indonesia. “Melalui deklarasi damai kami mengajak segenap komponen bangsa untuk saling menghormati dan menjadikan hasil pilpres 2014 sebagai kemenangan rakyat,” jelasnya. [ER]

Demokrasi yang Bermartabat

Pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada 9 Juli 2014 merupakan momentum untuk menentukan arah bangsa Indonesia, minimal dalam lima tahun ke depan. Momentum ini merupakan wujud dari proses demokrasi yang berlangsung pasca reformasi yang bergulir sejak 1998. Kita berharap kepada presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh warga mampu membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik lagi.

Dalam pemilu presiden dan wakil presiden 2014 ini terdapat dua kubu atau dua pasangan calon yaitu nomor urut satu pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa, dan pasangan nomor urut dua Joko Widodo – Jusuf Kalla. Masing-masing kubu sama-sama membangun basis kekuatan baik melalui tawaran visi misi dan program, maupun penggalangan massa secara tradisional.

Pada tataran normatif, program -program masing calon cukup berimbang sebagai janji dalam menarik para calon pemilih. Namun demikian, pada tataran realisasi, berbagai janji program yang terdapat dalam visi misi para calon masih perlu waktu untuk melihatnya. Kita dapat melihat berbagai rekam jejak masing-masing pasangan yang telah bekerja cukup lama untuk bangsa ini.

Misalnya saja para calon wakil presiden, Hatta Rajasa sebagai menteri koordinator perekonomian dan menteri beberapa kali dalam kabinet di Indonesia. Begitu juga Jusuf Kalla yang telah melalui berbagai kabinet baik menteri sampai dengan wakil presiden para masa pemerintahan SBY 2004 – 2009. Tak kalah juga dengan para calon presidennya. Baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo sama-sama mengklaim telah bekerja untuk masyarakat dan bangsa Indonesia.

Sekarang, pilihan diserahkan kepada para warga sebagai pemegang suara yang menentukan masa depan bangsa untuk memilih pemimpinnya. Satu komitmen warga negara yang harus dipegang adalah kebijaksanaan untuk menerima hasil dari pesta demokrasi ini. Mengingat hanya terdapat dua pasang calon, persaingan cukup ‘keras’ dan head to head, kita sebagai warga dalam negara demokrasi harus berkomitmen menjaga proses demokrasi ini secara legowo.
Ya, legowo. Kubu yang memperoleh suara lebih banyak untuk tetap menghargai kubu ‘lawan’. Sebaliknya kubu yang belum beruntung untuk menghormati pilihan warga. Karena esensi dari demokrasi adalah kebersamaan dan persaudaraan sesama warga negara bangsa Indonesia.

Mari kita wujudkan demokrasi yang bermartabat untuk Indonesia… selamat memilih !
[ws, 1 Juli 2014]

Peradah Indonesia Minta Pemda Semarang Tegas

Peradah Indonesia menyayangkan tidak adanya kepedulian dari Pemerintah Daerah di Semarang terhadap kelestarian Candi Ngempon di Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang.

Hal ini dapat dilihat dari adanya tempat-tempat hiburan liar di kawasan Candi Ngempon yang membawa dampak negatif bagi masyarakat dan kelestarian kawasan candi.

Wayan Sudane, Ketua Umum Peradah Indonesia dalam rilisnya yang diterima Tribun Bali mengatakan semua warisan luhur budaya bangsa, harus dijaga dan dikembangkan untuk mengangkat nilai kawasan dan masyarakatnya baik sosial maupun ekonomi.

Pemerintah melalui Pemda setempat dapat mengoptimalkan kawasan menjadi eko wisata maupun desa wisata dengan mengangkat nilai-nilai luhur budaya setempat.

“Pendekatan pembangunan masyarakat berbasis budaya, perlu dilakukan pemda untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” jelasnya disela-sela diskusi budaya dalam rangka 69 tahun Pancasila di Jakarta, Minggu(1/6/2014) lalu.

Untuk itu, pemda setempat dan lintas sektoral perlu bertindak tegas terhadap tempat-tempat hiburan liar yang dapat merusak kawasan, sekaligus merusak mental masyarakat.

Solusinya adalah mengembangkan kawasan menjadi desa wisata berbasis budaya dan ekonomi kreatif. “Pembangunan perlu dilakukan dengan pendekatan masyarakat, alam atau lingkungan, dan ekonomi kreatif,” tambahnya.

Selain itu, pemda juga dapat memanfaatkan program corporate social responsibility (CSR) dengan menggandeng sektor swasta yang ada di Semarang maupun Jawa Tengah untuk turut aktif mengembangkan kawasan Candi menjadi wilayah wisata berbasis budaya luhur bangsa.

Sebagaimana diketahui, tanpa adanya perhatian Pemerintah, kondisi situs Candi Ngempon yang berada di Lingkungan Ngempon, Bergas, Kabupaten Semarang saat ini menjadi salah satu lokasi prostitusi yang tergolong ramai.

Sejumlah kalangan khawatir jika tidak segera ditertibkan, lama kelamaan kawasan Candi Ngempon akan berubah menjadi lokalisasi. Sebab di lingkungan situs peninggalan kerajaan Hindu itu, tumbuh subur rumah karaoke dan tempat biliard liar.

Bahkan, di kawasan tersebut saat ini dikenal sebagai pangkalan kaum waria dan menjadi ajang mesum remaja yang sedang pacaran.

“Awalnya hanya satu karaoke saja, lalu bertambah banyak. Kalau malam suasanya ya ramai karena ada karaoke itu. Ada juga kelompok waria yang seringkali nongkrong pada malam hari di sini. Kami tidak tahu aktivitas mereka, setahu kami mereka hanya datang untuk berwisata. Warga sebenarnya terganggu, tetapi tidak bisa melarang karena itu kewenangannya pemerintah,” kata Hidayat (30), salah satu warga, Senin (1/7/2014) pagi.

Kondisi situs Candi Ngempon yang terdiri dari sejumlah candi dan petirtaan (pemandian) air hangat peninggalan kerajaan zaman Hindu tersebut terancam rusak karena adanya karaoke dan billiard membuat sejumlah kelompok pemerhati Cagar Budaya turun tangan.

Dua Kelompok pemerhati Cagar Budaya dari Paguyuban Pedulu Cagar Budaya ‘Ratu Sima’ (PPCBRS) Jateng dan Paguyuban Peduli Cagar Budaya dan Alam Semesta Jateng mendesak Pemkab Semarang melakukan tindakan penyelamatan situs Candi Ngempon.

“Kami sudah mendatangi Kantor Dinas P dan K untuk mendesak penyelamatan Candi Ngempon. Kami sudah lihat langsung di lokasi, dan kami mencermati di Ngempon sudah banyak pelanggaran. Sebab di sekitar petirtaan sudah berdiri sejumlah karaoke dan billiard yang jaraknya sangat dekat dengan situs Candi Ngempon tersebut. Juga jadi tempat nongkrong ‘mahluk jadi-jadian’ (waria). Lama kelamaan bisa jadi tempat prostitusi,” kata Ketua PPCBRS Jateng, Sutikno dihubungi via phone.

Aura mesum dilokasi Candi, kata Sutikno, juga dikeluhkan oleh organisasi keagamaan Hindu, lantaran mereka masih menggunakan candi tersebut untuk kegiatan keagamaan.

Dia berharap, dengan keluhan dari masyarakat serta umat Hindu tersebut, pemerintah serius melindungi tempat cagar sesuai peruntukannya. “Kalau itu candi ya harusnya jadi wisata religi dan pendidikan, jangan sampai nantinya menjadi wisata syahwat. Kami minta kondisi itu harus segera ditertibkan,” kata Sutikno.

Sumber:
http://bali.tribunnews.com/2014/06/03/peradahindonesia-minta-pemda-semarang-tegas

Peradah Indonesia Gelar Diskusi Makna Budaya di Mata Capres

JAKARTA, Teraslampung.com – Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (DPN Peradah Indonesia) menggelar diskusi publik “Makna Budaya di Mata Capres”, di Gedung Perwakilan Provinsi Bali, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (1/6).

Pada Pilpres 2014, Peradah Netral

Acara yang digelar bertepatan dengan momentum hari lahir Pancasila 1 Juni itu menghadirkan Ahmad Reza Patria (Ketua DPP Partai Gerindra), Eva Kusuma Sundari (Tim Jokowi-JK), dan I.B Rai Dharmawijaya Mantra (Budayawan/ Walikota Denpasar) sebagai narasumber. Turut hadir pada diskusi tersebut antara lain Prof IBG Yudha Triguna (perwakilan Parisada Pusat), Prajaniti Hindu, Ikatan Cendekiawan Hindu, KMHDI, WHDI dan para tokoh umat Hindu.

IB Rai Dhamawijaya Mantra mengatakan budaya dapat mengakselerasi pembangunan terutama tingkat indeks pertumbuhan manusia dan ekonomi. Kebudayaan yang baik, menurut Rai Dharmawijaya, akan mampu membangun peradaban yang baik pula.

“Pada prinsipnya kebudayaan itu sebagai subyek dan obyek dalam pembangunan,” jelasnya.

Sedangkan Ahmad Reza dan Eva Sundari menekankan dan memaparkan visi dan program masing-masing calon presiden.

Menurut Wayan Sudane, Ketua Umum Peradah Indonesia, acara diskusi tersebut merupakan tindak lanjut dari seminar budaya di DI Yogyakarta pada 15 Desember 2013 lalu.

Peradah_1“Melalui diskusi budaya ini kami ingin memberikan kesadaran dan mendorong aksi nyata pemimpin bangsa untuk lebih menguatkan kepemilikan terhadap budaya, situs dan tradisi bangsa yang harus dilestarikan,” kata Sudane.

Wayan Sudane menyatakan Peradah Indonesia merupakan organisasi pemuda yang bersifat independen dan mandiri. Untuk itu dalam kaitannya dengan pemilihan presiden dan wakil presiden.

“Peradah Indonesia tidak memihak calon mana pun. Terkait pilihan diserahkan kepada masing-masing individu sebagai warga negara sesuai dengan hati dan nuraninya,” kata dia.

Acara diakhiri dengan pemotongan tumpeng dalam rangka 69 tahun Pancasila dan simakrama hari raya Galungan dan Kuningan.

ISO 26000

Perkembangan bisnis kian mengalami pertumbuhan seiring dengan perdagangan antar negara. Adanya interaksi antara negara tersebut juga mendorong suatu produk memiliki standar sehingga dapat memberikan kepuasan kepada konsumen. Tidak itu saja, tuntutan internal perusahaan maupun lingkungan juga kian masif mendorong perusahaan untuk terus meningkatkan tanggung jawab sosialnya.

Untuk itu, pada tahun 2004 International Organization for Standardization (ISO) mempublikasikan ISO 26000 yang merupakan panduan standar internasional tentang tanggung jawab sosial dibawah ISO. ISO didirikan pada tahun 1947 sebagai pengembang dari standar internasional dan telah memiliki anggota 156 badan standar di beberapa negara.

Proses pengembangan ISO 26000 dilakukan pada tahun 2005 yang difasilitasi oleh ISO/TMB/WG SR yang terdiri dari 300 ahli dari 54 negara anggota ISO dan 33 organisasi yang mewakili enam kelompok pemangku kepentingan yaitu industri, pemerintah, konsumen, tenaga kerja, NGO, dan jasa lainnya.

ISO memegang peranan penting dalam ekonomi global untuk memfasilitasi praktek manajemen yang baik. Begitu juga dengan ISO 26000 akan memiliki pengaruh penting dalam pedoman tanggung jawab sosial ke depannya. Untuk itu penting bagi perusahaan mengembangkan konsep ISO 26000 pada implementasi dan desain program corporate social responsibility (CSR).

Empat Penghargaan Peradah

Dalam puncak rangkaian ulang tahun yang ke-30, Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah Indonesia) memberikan penghargaan kepada empat tokoh yang telah bekerja nyata bagi masyarakat. Apresiasi Peradah melalui Penghargaan ini dikategorikan menjadi empat yaitu pendidikan, kewirausahaan, lingkungan, dan budaya. Penghargaan diberikan dalam puncak perayaan 30 tahun Peradah Indonesia pada tanggal 15 Maret lalu di Jakarta.

Adapun penerima penghargaan tersebut adalah Made Kusuma Jaya untuk kategori Lingkungan. Anak kedua dari Pasangan Petani bernama I Made Dapet dan Ni Ketut Sari di Tengah Pelosok Pulau Bali tepatnya di Dusun/Banjar Gunung Kangin, Desa Bangli, Baturiti Tabanan. Tahun 2005 masuk di Fakultas Kedokteran, Jurusan Kesehatan Masyarakat (Kesmas) di Universitas Udayana. Lulus 2011 direkrut menjadi Field Facilitator Program Pemberdayaan Pemulung di sebuah NGO, lalu menjadi staff bidang Manajemen Sampah kurang lebih 2 tahun dikantor yang sama. Wara-wiri dari workshop 1 ke workshop yang lain dari nusantara sampai ke luar negeri terus membahas dan diskusi soal pemulung dan masalah sampah. Suami dari Ni Kadek Sinta Dewi ini masih sempat melanjutkan pekerjaan di Denpasar sampai akhir 2012, lalu mengundurkan diri karena lebih memilih untuk lebih awal kembali ke tanah kelahiran di desa.
Pertengahan 2013 (Juni) setelah semua uang dan tabungan habis, Made lalu mendirikan Bank namun bukan bank uang, melainkan Bank Sampah bernama “Asri Mandala”. Didukung oleh teman dan saudara yang mengerti akan niat tersebut, kegiatan dijalankan dari desa sendiri dan terus memperluas ke desa-desa lain. Kampanye di social media melalui Fanpage Central Bali Recycling, membuat kegiatan ini mendapat banyak apresiasi dari berbagai pihak karena dalam perjalananya kegiatan-kegiatan bank sampah banyak berkaitan dengan anak-anak.

Tahun 2014, Made memberanikan diri merambah bisnis jasa pengelolaan sampah untuk komersial. Akibat bisnis “Tabungan Recycle” di Bank Sampah masih belum mengcover biaya untuk menjalankan roda kegiatannya. Karena kegiatan bank sampah 50% bisnis 50% kegiatan pendampingan dan edukasi sedangkan tidak ada sponsor/ support finansial dari pihak luar. Melihat peluang di bisnis ini terbuka, maka kerjasama dimulai dari pengusaha wisata lokal sekitar desa.
Bisnis dengan pengusaha juga merupakan jalan untuk melakukan advokasi agar dapat mengajak pengusaha yang peduli untuk berpartisipasi membantu kegiatan-kegiatan sosial dan pendidikan terkait sampah di pedesaan. Sampai detik ini, semua kegiatan dikerjakan seorang diri. Sebagai Pendiri, Sebagai Direktur, Manajer dan Kuli Pemilah Sampahnya juga sekalian.

Penerima penghargaannya selanjutnya adalah sosok pemuda yang bergelut dibidang budaya, Dwitra J Ariana. Dwitra dinobatkan oleh Dewa Juri sebagai penerima penghargaan untuk kategori Budaya. Dwitra merupakan sosok pemuda pembuat film, penulis dan pegiat teater yang lahir di Jeruk Mancingan, 1 Juli 1983. Berkesenian dimulai dengan berteater di Sanggar Cipta Budaya SLTP 1 Denpasar dan Teater Angin SMU 1 Denpasar. Ia menekuni dokumentasi budaya melalui film, dan grafis. Film-filmnya pernah terpilih sebagai Official Selection Ganesha Film Festival (Ganffest) 2008 Bandung, Surabaya Film Festival (S13FFEST) 2007 dan Festival Film Dokumenter (FFD) Jogjakarta 2006.

Untuk menyebarkan minatnya, Dwitra mendirikan Sanggar Siap Selem (ayam hitam) di Banjar Jeruk Mancingan, Susut – Bangli. Sanggar Siap Selem melaksanakan workshop dan diskusi seni dan budaya terutama seni dan budaya kontemporer. Pada tahun 2011, Sanggar Siap Selem memproduksi film dokumenter pluralisme dengan judul “Lampion-Lampion”. Film tersebut berhasil meraih beberapa penghargaan, antara lain: Film Terbaik I Festival Film Dokumenter Bali 2011, Film Terbaik I Festival Film Kearifan Budaya Lokal Kemenbudpar Jakarta 2011, Best Director dan Best Documentary di Documentary Days Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta 2011 dan di ajang supremasi tertinggi penghargaan film di Indonesia, Festival Film Indonesia (FFI) 2011, film tersebut terpilih sebagai 5 nominasi penerima Piala Citra.

Dwitra mengenyam berbagai pendidikan, kendati tak semuanya ia selesaikan. Pernah tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Teknik Arsitektur Universitas Udayana dan Graphic Design WEC, hanya yang terakhir berhasil ditamatkannya. Kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Udayana sedang berjuang skripsi, namun sudah terdaftar lagi di Institut Seni Indonesia Denpasar jurusan Desain Komunikasi Visual.

Untuk bidang pendidikan, penghargaan Peradah diterima oleh Putu Pande Setiawan. Pande melakukan kerja sosial melalui Komunitas Anak Alam. Pande menyelesaikan S1 Teknik Industri dari Sekolah Tinggi Teknologi Telkom – Bandung, kemudian menyelesaikan S2 di Magister Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Berkesempatan melakukan pertukaran mahasiswa ke University of Victoria,British Columbia – Canada. Pernah menjadi kandidat beasiswa Ph.D in tourism oleh World Tourism Organization di Hong Kong Polytechnique Institut. Pernah bekerja sebagai Staf Field Monitor – Program Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-WFP) dalam recovery gempa di Yogyakarta.

Pande bercita-cita melihat anak-anak miskin di seluruh Bali bisa mengenyam pendidikan. Tahun 2009, ia mendirikan Komunitas Anak Alam sebuah komunitas berbasis sukarela. Misi awalnya adalah memberikan kesempatan kepada anak-anak dari kampung-kampung terpencil Bali agar mendapatkan kehidupan yang lebih layak, pengalaman hidup yang lebih baik, dan akses pengetahuan.
Mengawali langkah dan program Komunitas Anak Alam, Pande pergi di sekitar desa tempat tinggalnya untuk mencari anak-anak putus sekolah kerena kemiskinan. Pande mulai melakukan pendekatan dengan masyarakat di Desa Blandingan dengan cara berbaur dengan kehidupan keseharian mereka. Meski ia harus menjadi dekil untuk mendekati mereka yang phobia dengan pendatang. Upaya untuk melaksanakan komitmen mengabdikan diri untuk anak-anak miskin Bali melalui pendidikan bukan tanpa kendala. Banyak orang yang tidak suka, bahkan ia sempat dianggap gila untuk memulai program di Belandingan.

Pande terus bekomitmen bekerja untuk pendidikan. Ia sadari, di Bali pendidikan tidak begitu dianggap, sebaliknya pariwisata seolah mengalahkan sektor lainnya. Bekerja sosial merupakan hasrat terbesarnya. Memilih untuk mengabdikan diri dan pengetahuannya untuk anak-anak yang tak memiliki kesempatan dan peri kehidupan yang layak ini, daripada menerima tawaran kerja di perusahaan-perusahaan besar. Inilah kerja nyata, yang sering dilupakan dan dianggap remeh orang yang sudah mapan.

Penghargaan Peradah dibidang kewirausahaan adalah Putu Putrayasa. Diusianya yang muda, ia memiliki segudang prestasi yang membanggakan. Lahir di Sumbawa, 17 Desember 1976, tak pernah ada yang menyangka, bahwa berada dalam kondisi sebagai seorang anak dari petani miskin dan seringkali kesulitan untuk meneruskan sekolah, mampu membawanya menjadi sosok yang sukses. Berbagai bidang bisnis pun pernah ia geluti, mulai dari laundry, bimbingan belajar jarak jauh, les privat, bisnis kayu hingga saat berusia 22 tahun, Putu sudah bisa menghasilkan omzet miliaran dari usaha toko komputernya.

Diusia 26 tahun, Putu mendirikan akademi yaitu Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (AMIK AKMI), di Baturaja, Sumatera Selatan. Kini ia juga mengembangkan STIE Bank, Kampus pencetak pengusaha di Yogyakarta. Putu juga merupakan praktisi Neuro Linguistic Programming (NLP), menulis buku dengan harapan setiap orang yang membacanya akan paham betul inti dari sebuah kesuksesan. Buku pertamanya Kaya dan Bahagia Modal Ngobrol, disusul kemudian dengan buku Desain Ulang Hidup Anda diterbitkan oleh Gramedia Group.

Tak cukup hanya menjadi seorang wirausahawan, kini Putu Putrayasa mulai bergerak mewujudkan pengabdiannya bagi masyarakat. Ia mendirikan komunitas pengusaha pembelajar melalui Kos Hebat, sebagai Kos Hebat Pencetak Pengusaha. Kos Hebat ini adalah bentuk bimbingan dan pengarahan kepada para pesertanya yang ditempa kurang lebih dua bulan untuk menjadi pengusaha berkarakter, tidak hanya nekat dengan otak kanan, tetapi juga pengusaha yang diimbangi dengan logika dan rasio otak kiri. Dari Kos Hebat, Putu ingin melahirkan 1000 Orang Pengusaha sekaligus Penulis, Trainer dan Coach, yang akan diajaknya melahirkan Sejuta Pengusaha.

sumber: Media Hindu

30 tahun Peradah; Bekerja dalam Kebenaran

WAYAN Sudane | Peradah Indonesia lahir pada 11 Maret 1984 di Yogyakarta sebagai wujud representasi cita-cita generasi muda Hindu yang idealis, kritis dan progresif. Peradah Indonesia lahir sebagai pemersatu bagi generasi muda Hindu dengan berbagai latar belakang budaya yang dimiliki oleh masing-masing anggotanya.

Keaneka-ragaman latar belakang inilah yang menjadi spirit. Peradah Indonesia meyakini bahwa perbedaan itu suatu kekayaan bagi organisasi, masyarakat, dan bangsa. Ya, Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa akhirnya menjadi moto kami, Peradah Indonesia.

Hari ini, 11 Maret 2014 Peradah Indonesia genap berusia 30 tahun. Usia yang cukup matang bagi pondasi organisasi untuk terus berkiprah bagi pengembangan potensi generasi muda Hindu di Indonesia. Peradah Indonesia dengan tingkatan organisasi mencapai kecamatan dan desa (komisariat) sudah tentu memiliki kiprah bagi pengembangan sumber daya manusia. Selain itu, Peradah juga aktif dalam menjaga nasionalisme sebagai wujud dharma negara.

Dalam rentang perjalanan 30 tahun, Peradah melakukan berbagai kegiatan dalam lingkup kepemudaan dan kebangsaan. Dalam lingkup kepemudaan, Peradah terus menjaga komitmen sebagai kawah candradimuka bagi pemuda Hindu di Indonesia dalam melahirkan pemimpin-pemimpin kedepan.

Sedangkan dalam lingkup kebangsaan, Peradah aktif dalam berbagai kegiatan bersama-sama elemen bangsa maupun organisasi lintas agama. Peradah berkomitmen membangun generasi muda Hindu yang mandiri dan demokratis untuk aktif membangun bangsa Indonesia.

Dari perjalanan 30 tahun Peradah Indonesia, kiprah dibidang kepemimpinan untuk terus menciptakan para kader-kader telah banyak dilakukan. Selanjutnya Peradah fokus pada pengembangan kewirausahaan pemuda. Ya, Peradah sebagai organisasi pemuda kini memfokuskan diri pada pengembangan kepemimpinan dan kewirausahaan.
Dirgahayu 30 tahun Peradah Indonesia…

Keberagaman Budaya Bangsa

Pada tanggal 10 Januari 2014 lalu kami dari DPN Peradah hadir ke Medan, Sumatera Utara. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin dari DPN untuk koordinasi dalam rangka mewujudkan gerakan Peradah yang semakin progresif. Pada hari Jumat (10/1) kami berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta bersama DPP Peradah Sumatera Utara. Kunjungan ini bukan untuk menjenguk seseorang yang sedang ‘sekolah’ di LP namun untuk melihat inisiatif positif dari pihak LP yang mendukung pembangunan tempat ibadah bagi warga Hindu.

Memang di lingkungan LP terdapat tempat ibadah sebagai sarana peningkatan karakter dan pembinaan keagamaan para warga binaan. Di LP Tanjung Gusta sudah memiliki Masjid, Gereja, dan Wihara. Dan atas inisiatif Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Peradah Sumatera Utara, kini sedang dibangun Kuil di Lapas Kelas I Tanjung Gusta, Medan mengingat warga binaan khususnya yang Hindu belum tersentuh untuk penguatan keimanannya. Nah, melalui Kuil ini diharapkan warga binaan dapat belajar dan memperkuat keimanannya.

Selanjutnya, kami berjumpa dengan rekan-rekan Dewan Pimpinan Kabupaten (DPK) Deli Serdang yang dilanjutkan ke Kuil Shri Raja Rajeshwari Amman Kovil. Kuil ini terletak sekitar 35 Km dari Kota Medan, tepatnya di Desa Padang Cermin, Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat. Kuil ini memiliki patung Dewa Murugan setinggi 55 kaki atau sekitar 17 meter menjulang ke langit di sisi kiri kuil.

Pada esok harinya Sabtu (11/1) kami berada di Kuil Shri Mariamman untuk mengadakan acara pelantikan Pengurus DPK Peradah Medan. Kuil ini merupakan Kuil Hindu tertua di Kota Medan yang dibangun tahun 1881 untuk memuja Dewi Shri Mariamman.

Perjalanan selama di Sumatera Utara memang kian memperkuat ke-bhinnekaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan umat Hindu. Ragam budaya dan adat istiadat umat Hindu di Sumatera Utara khususnya bagi warga India tentu saja berbeda dengan umat Hindu di Bali.

Akhirnya, keberagaman merupakan budaya yang terus memperkaya kita, bangsa Indonesia.