Idul Fitri Perekat Islam dan Hindu

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Hari Raya Idul Fitri yang dirayakan oleh seluruh umat muslim di dunia, bagi bangsa Indonesia nampaknya bukan lagi sekadar ritual perayaan kemenangan bagi umat Islam semata. Di negara kepulauan dengan berbagai macam suku bangsa, adat istiadat, budaya, dan agama ini, semangat Idul Fitri pun kerap turut dirasakan oleh mereka yang beragama non-Islam.

Ketua Umum Perhimpunan Pemuda Hindu (Peradah) Indonesia Wayan Sudane menyatakan, dalam memaknai hari raya umat Islam ini, umat Hindu juga ikut menanamkan semangat toleransi dan bersama-sama membangun semangat kebersamaan. “Basic negara kita kan keberagaman, Bhinneka Tunggal Ika,” katanya kepada gresnews.com, Rabu (15/7).

Apalagi, momentum Idul Fitri ini, kata Sudane, cukup istimewa bagi umat Hindu karena jatuhnya hampir bersamaan datangnya dengan hari raya Galungan yang jatuh pada hari Rabu (15/7). Bagi umat Hindu, Galungan diartikan merayakan kebenaran darma atas kebatilan.

“Sehingga memiliki semangat yang sama dengan Idul Fitri yang merayakan kemenangan atas perlawanan terhadap hawa nafsu selama satu bulan penuh,” ujarnya.

Kesamaan semangat melawan hawa nafsu inilah, kata Sudana, yang bisa dijadikan landasan bagi para pemeluk keyakinan yang berbeda ini untuk sama-sama melangkah dalam ikatan persatuan. Kebersamaan antara umat Islam dan Hindu di Indonesia, kata dia, selama ini sudah terbangun dengan baik.

Di kampungnya, di Lampung, misalnya, menurut Sudane, saat H-1 Idul Fitri para umat Muslim saling memberikan makanan khas lebarannya, ketupat. Pun saat siang hari setelah Shalat Ied, ia dan teman-teman seagamanya sering berkunjung, silaturahmi dan mengucapkan selamat ke warga muslim.

Begitu juga umat Hindu yang esok akan merayakan Galungan, para tetangga muslimnya pun bertandang ke rumah mengucapkan selamat. “Kami pun hari ini ada bagi-bagi makanan ke teman-teman muslim. Adatnya ngerantang, memakai rantang,” ujarnya.

sumber: http://www.gresnews.com/berita/sosial/110157-idul-fitri-perekat-islam-dan-hindu/2/

Tak Ada Mayoritas dan Minoritas di Indonesia

Ketua MPR RI Zulkifli Hasan mengatakan, persoalan suku, agama, ras, dan kelompok golongan merupakan permasalahan masa lalu yang harus ditinggalkan. Memasuki usia kemerdekaan yang hampir mencapai 70 tahun, kata Zulkifli, permasalahan tersebut seharusnya sudah selesai.

“Sekarang kita berbicara Bhinneka Tunggal Ika. Agama, suku, ras kelompok golongan itu kita bicarakan 70 tahun lalu. Itu tidak boleh lagi retorika, apalagi basa basi,” kata Zulkifli saat memberi testimoni dalam acara Malam Apresiasi 31 Tahun Peradah Indonesia di Ruang Teater Wisma Kemenpora, Jakarta, Sabtu (4/4) malam.

Zulkifli mengatakan, negara besar yang dipenuhi dengan keberagaman merupakan kekuatan sekaligus tantangan bagi Indonesia. Sebagai negara yang menjadikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi, lanjutnya, adalah sebuah tanggung jawab bagi seluruh rakyat Indonesia untuk memelihara persaudaraan dan persatuan.

“Apapun agama, kelompok, suku kita, kita adalah Indonesia. Kita memiliki hak dan kewajiban yang sama di negara ini. Tidak ada mayoritas minoritas. Tidak ada UU yang membedakan kita,” ujarnya.

Zulkifli menyebutkan, Indonesia menghadapi tantangan kebangsaan yang berbeda saat ini. Tantangan pertama, yakni kemiskinan. Perbedaan antara kaya dan miskin, lanjutnya, semakin jauh dan jelas terlihat.

“Di Jakarta orang bingung mau milih makan apa. Di desa-desa ada yang hari ini bingung makan apa, nggak tahu mau makan apa. Itu tantangan kita sekarang,” kata Zulkifli.

Tantangan kedua, lanjut Zulkifli, adalah sumber daya manusia (SDM). Indonesia yang berpenduduk besar dan memiliki sumber daya alam yang melimpah harus bisa dimanfaatkan sebagai kekuatan.

“SDM lah yang menentukan. Bagaimana SDM kita, kualitas pendidikan kita. Bonus demografi kita yang besar kalau tidak dimaksimalkan akan jadi bencana,” ujarnya.

Selain itu, membenahi pemerintahan dan demokrasi, kata Zulkifli, juga menjadi tantangan kebangsaan Indonesia. Memelihara pluralitas atau keberagaman pun ikut menjadi tugas bersama dengan cara saling mengedepankan toleransi dan memelihara rasa persaudaraan dan kesatuan sebagai bangsa.

“Bukan soal perbedaan. Perbedaan itu anugerah dari Tuhan. Kita dibuat berbeda itu hukum tuhan agar kita bersaing, berlomba untuk saling menjaga bumi dan memakmurkan manusia,” kata politikus PAN itu.

Redaktur: Dwi Murdaningsih
Reporter: c82

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/mpr-ri/berita-mpr/15/04/05/nmbim2-tak-ada-mayoritas-dan-minoritas-di-indonesia

Saat Keberagaman Jadi Kunci Persatuan

Dengan alunan musik Bali, empat orang wanita berlenggak-lenggok di atas panggung. Menggunakan hiasan bulu di kepala, para wanita itu menarikan tari Cendrawasih, sebuah tarian asal Bali yang mempresentasikan ritual perkawinan di tanah para dewa.

Tarian itu merupakan satu dari empat tari lainnya yang diperagakan anggota Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah) dalam Malam Apresiasi HUT 31 Peradah. Selain tari dari Bali, ditampilkan pula tarian tradisional dari belahan Indonesia lainnya, yakni Lampung, Jakarta, dan Papua.

Bukannya tanpa alasan, tari-tarian tersebut ditampilkan untuk merepresentasikan tema tahun ke-31 Peradah, yakni toleransi dalam keberagaman.

“Ini untuk memperlihatkan bahwa umat Hindu tidak hanya ada di Bali, tapi beragam dari seluruh Indonesia,” ungkap Ketua Umum Peradah Wayan Sudane, Sabtu (4/4/2015).

Dalam acara yang dilangsungkan di Wisma Kemenpora, Senayan, Jakarta tersebut, turut hadir pula Ketua MPR RI Zulkifli Hasan yang sangat mengapresiasi tema tersebut.

Menurut Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, sudah seharusnya masyarakat Indonesia mengesampingkan perbedaan suku, ras, maupun agama dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, katanya, perbedaan merupakan kunci kemerdekaan bangsa Indonesia.

“Keberagaman merupakan warisan dari para pendiri bangsa. Sehingga sudah seharusnya kita terus berusaha mempekokoh persatuan dan persaudaraan kita,” ungkap Ketua MPR RI Zulkifli Hasan di depan 200 undangan malam itu, yang terdiri dari anggota Peradi, mahasiswa Hindu se-Jabodetabek, dan organisasi Hindu.

Menurut Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, setelah hampir 70 tahun merdeka, seharusnya perbedaan-perbedaan seperti itu tidak lagi dipermasalahkan. Karena dewasa ini, permasalahan yang bangsa Indonesia hadapi jauh lebih besar dari pada itu, misalnya bagaimana menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.

“Banyak negara miskin yang jadi negara maju karena sumber daya manusianya berkualitas. Sebalinya banyak juga negara kaya yang jadi terbelakang karena sumber daya manusia yang tidak berkualitas. Tantangannya sekarang, bagaimana memajukan Indonesia dengan sumber daya alam yang kaya dan sumber daya manusia yang berkualitas,” jelas Ketua MPR RI Zulkifli Hasan yang malam itu mengenakan busana batik bernuansa merah-cokelat.

Dalam perayaan hari jadi organisasi yang berdiri sejak 1984 itu, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan berpesan agar Peradi terus ambil bagian dalam kemajuan Indonesia. Apalagi mengingat tahun ini Peradi fokus pada kepemimpinan dan kewirausahaan.

“Lanjutkan pengabidaan saudara untuk indonesia. Sehingga setiap lapis masyarakat bisa saling bergotong royong demi Indonesia yang lebih maju, sejahtera, dan bermatabat,” tutup Ketua MPRI RI Zulkifli Hasan yang diamini para undangan malam itu.

Sumber: http://lipsus.kompas.com/mpr

Peradah Ingatkan Pemimpin Harus Melayani

Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah Indonesia) mengingatkan bahwa pemimpin baik tingkat nasional maupun daerah agar harus melayani. Hal ini merupakan semangat kegiatan Pendidikan Kepemimpinan Nasional (Pakemnas) Angkatan VIII Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah Indonesia) di Palu, Sulawesi Tengah, 14-16 November 2014.

Ketua Umum Peradah Indonesia, Wayan Sudane mengatakan semangat yang diusung dalam Pakemnas VIII yaitu kepemimpinan yang melayani. Semangat ini dikembangkan dariajaran Mahatma Gandhi tentang swadeshi yang intinya adalah kemandirian. Sebab, kemandirian merupakan dasar dari pembangunan karakter untuk dapat berperan aktif dalam masyarakat. “Kemandirian kami tanamkan sebagai spirit dalam membangun karakter khususnya dilingkungan Peradah Indonesia,” katanya melalui surat elektronik diterma Jurnas.com, Sabtu (15/11/2014).

Wayan menjelaskan isu kemandirian saat ini sangat penting dalam pembangunan Indonesia.Kemandirian merupakan dasar dari pembangunan karakter sumber daya manusia maupun pembangunan bangsa Indonesia.

“Kemandirian harus dimulai dari sikap mental individu untuk mewujudkan kemandirian komunitas masyarakat,” katanya.

Menurut ajaran Hindu, kata Wayan, terdapat delapan sifat dari pemimpin antara lainSuryaBrata (bijaksana), Chandra Brata (memberi rasa nyaman), Bayu Brata (pandai menggali aspirasi masyarakat), Agni Brata (pemberani), Kwera Brata (pandai mengatur keuangan),Baruna Brata (penampung aspirasi),Indra Brata (memberikan kesejahteraanpada masyarakat), dan Yama Brata (memberi rasa adil).

“Melaluisifat-sifat luhur tersebutdiharapkan mampu menjadi inspirasi dalam menggerakan kepemimpinan yang melayani,” kaatanya.

Peradah Indonesia sebagai organisasi nasional untuk para pemuda Hindu Indonesia terus berkomitmen untuk melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan yang memiliki visi pelayanan. Tentu saja, pemimpin tersebut tidak dapat dipelajari secara teori saja.

Perlu adanya proses dan terjun langsung untuk merasakan dinamika di lapangan. Begitu juga kemandirian, mampu berdiri di atas kaki sendiri.

Untuk itu, dalam Pakemnas VIII dilakukan beberapa pendidikan dan pelatihan bagi para anggota yang hadir dari seluruh wilayah Indonesia. Kepemimpinan dan kemandirian merupakan dua hal yang saling terkait dalam konteks kekinian.

Kepemimpinan yang melayani dan kemandirian dalam pengelolaan sumber daya yang dimiliki adalah kebutuhan bangsa saat ini. Oleh karena itu, Peradah terus berupaya membangun komitmen, kapasitas, dan budaya kerja dalam mengembangkan kepemimpinan dan kemandirian.

Lebih lanjut, Wayan Sudane menegaskan pemuda sebagai generasi penerus bangsa di masa depan akan pewaristongkat estafet kepemimpinan bangsa, baik pada level lokal, nasional dan internasional.

sumber:
http://www.jurnas.com/news/157803/Peradah-Ingatkan-Pemimpin-Harus-Melayani—2014/1/News/Politik-Keamanan

Beralihnya Daulat Rakyat ke Daulat Parpol

Pasca-diputuskan melalui voting pada Jumat (26/9) dini hari, UU Pilkada menuai kritik cukup keras dari rakyat yang dituangkan melalui berbagai aksi dan media sosial. Tagar #ShameOnYouSBY, #ShamedByYou, dan #ShamedByYouAgainSBY secara bergilir menjadi trending topic di twitter.

Dalam voting 135 anggota DPR memilih pilkada langsung dan 226 anggota memilih pilkada melalui DPRD/ Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan 124 anggota DPR yang merupakan fraksi Demokrat memilih sikap walk out dari sidang paripurna dan menyisakan 6 anggota yang tetap memilih pilkada langsung.

Kini, bola panas justru berada di Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga merupakan ketua umum Partai Demokrat. Hal ini disebabkan adanya manuver dari Partai Demokrat yang menjadi king maker dalam hitungan matematis keputusan UU Pilkada tersebut. Sebelumnya, SBY dalam kapasitasnya sebagai ketua umum Partai Demokrat menyampaikan dukungannya terhadap pilkada langsung. Bila hal ini sesuai dengan arahan SBY tersebut, sudah pasti keputusan paripurna adalah pemilihan langsung.

Tuntutan terhadap komitmen dan kekecewaan SBY pasca putusan sidang paripurna yang menetapkan pilkada melalui DPRD pun terus mengalir. Sebagai konsistensi ucapan, SBY diminta untuk tidak menandatangani UU Pilkada tersebut meski setelah 30 hari undang-undang tetap berlaku tanpa tanda tangan presiden. Bahkan SBY pun diminta untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk membatalkan UU Pilkada tersebut.

Blunder yang dilakukan SBY dan Partai Demokrat tak lepas dari komunikasi politik pasca pemilihan presiden yang diikuti oleh dua kubu yaitu Joko Widodo – Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto – Hatta Radjasa (Koalisi Merah Putih). Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden lalu, SBY dan Partai Demokrat cenderung tak menampakan posisi yang jelas. Demikian juga dari kubu Jokowi – JK, komunikasi politik lebih banyak dilakukan oleh Jokowi dibandingkan dengan ketua umum PDIP Megawati Soekarno Putri. Komunikasi politik antara SBY dan Megawati Soekarno Putri bisa dikatakan tidak ada.

Begitu juga dengan draft awal RUU Pilkada yang diusulkan pemerintah. Sikap SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat pun bertolak belakang dengan usulan awal pemerintah yang mengajukan pilkada melalui DPRD mengingat SBY juga sebagai kepala pemerintahan (presiden).

Warisan Buruk Pemerintahan SBY

Kembalinya sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD tentu saja menegasikan buah dari reformasi yang telah berlangsung lebih dari satu dasa warsa. Rakyat kini mulai aktif dalam partisipasi politik dalam pemilihan kepala daerah bahkan puncaknya dalam pemilihan presiden dan wakil presiden lalu. Sistem yang dipilih oleh rezim hari ini merupakan wujud penghianatan terhadap partisipasi dan aspirasi rakyat untuk menentukan pemimpinnya.

Warisan buruk di akhir pemerintahan SBY melahirkan kekuatan partai politik model baru dengan mengabaikan partisipasi politik warga negara. Keseimbangan fungsi eksekutif (gubernur, bupati/ walikota) dan legislatif (DPRD) sulit dicapai ketika eksekutif dipilih oleh legislatif (DPRD). Sebaliknya, eksekutif akan tunduk pada kebijakan-kebijakan legislatif alias potensi kolusi kebijakan antara eksekutif dan legislatif terbuka lebar. Sementara rakyat hanya menjadi penonton tanpa bisa banyak berbuat dan menuntut kepada eksekutif. Posisi lemah eksekutif tersebut sebagai wujud balas budi terhadap keterpilihannya oleh legislatif.

Pola keseimbangan terjadi, bila eksekutif dan legislatif sama-sama dipilih oleh rakyat sehingga baik eksekutif maupun legislatif benar-benar bertanggungjawab dan mendengarkan rakyat. Disinilah substansi dari pemilihan langsung. Rakyat menjadi subjek sekaligus objek dalam pembangunan daerah. Rakyat menemukan substansi dari kehidupan demokrasi dengan semakin banyak lahirnya pemimpin-pemimpin berkualitas dari dan oleh rakyat. Pemimpin yang lahir karena pengabdian dan kerja nyata kepada rakyat yang kemudian memvisual kepada sosok/ figur bukan pada kekuatan partai politik.

Dengan disahkanya UU Pilkada, partai politik kembali menemukan ‘kekuatannya’ untuk melahirkan kekuasaan. Partai politik memegang kedaulatan untuk merumuskan kekuasaan dalam menentukan pemimpin daerah. Bahkan sangat mungkin, politik uang yang selama ini dijadikan alasan dalam kelemahan pilkada langsung tak dapat dihilangkan. Sebaliknya, peluang untuk penyalahgunaan kewenangan dan politik transaksional dalam pemilihan melalui DPRD tetap terbuka lebar. Inilah warisan terakhir masa pemerintahan SBY yang melukai hati rakyat.

Pemimpin Lahir dari Rakyat

Selama satu dasa warsa terakhir, bangsa Indonesia banyak melahirkan pemimpin-pemimpin dari rakyat. Bahkan Joko Widodo presiden terpilih pada pemilu 2014 merupakan sosok rakyat yang mengawali karir politiknya melalui walikota Solo. Selain itu banyak individu-individu luar biasa yang berasal dari rakyat biasa menjadi pemimpin harapan rakyat, bekerja dan memperjuangkan kehendak rakyat.

Melalui pemilihan langsung, rakyat diajak secara aktif untuk menentukan pemimpin daerah melalui partisipasi pemilih, proses pembangunan, hingga wujud pertanggungjawaban. Memang tidak dapat dipungkiri, pada awal pelaksanaannya, rakyat sempat apatis kendati trauma terhadap orde baru. Dan kini ketika rakyat sedang menemukan substasi dari demokrasi, justru tatanan tersebut dirusak oleh sekelompok wakil rakyat yang notabene dipilih oleh rakyat juga.

Kedaulatan rakyat kini beralih menjadi kedaulatan partai politik dimana penentuan pemimpin daerah ‘bisa diatur’ dari Jakarta oleh tokoh-tokoh sentral partai politik. Dan tak dapat dipungkiri pula, peluang transaksional kembali bersemi dalam tatanan pemilihan kepala daerah di tingkat DPRD. Pemimpin lahir dari partai politik, bukan dari rakyat.

Berharap adanya reformasi partai politik saat ini tentu saja sesuatu yang mustahil. Kekuasaan telah merubah pola pikir substansi kehadiran partai politik yang antara lain sebagai pendidikan politik, dan rekruitmen dan kaderisasi pemimpin publik. Dapat dilihat saat ini, partai politik hanya menjadi sarana dalam melanggengkan kekuasaan untuk mencapai pundi-pundi keuangan. Partai politik menjadi jembatan terjadinya ‘perselingkuhan’ antara penguasa dan pengusaha.

Kekuasaan partai politik kian menemukan jalannya. Realitas inilah yang kemudian menjauhkan rakyat dengan pemerintah yang sejatinya sebagai tumpuan untuk saling berinteraksi mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Alih-alih memberikan pelayanan optimal, pemimpin pilihan DPRD tentu akan mengutamakan kepentingan wakil rakyat daripada rakyat.

Namun demikian, sebagai bangsa yang besar, segala perdebatan konstitusional harus diselesaikan juga dengan cara-cara yang konstitusional. Saatnya untuk melakukan uji terhadap UU Pilkada tersebut, dan atau mendorong kepemimpinan Jokowi – JK untuk melakukan revisi yang tentu saja membutuhkan komunikasi politik yang baik pada tingkat parlemen dan partai politik. Bahkan, kepempinan Jokowi – JK dapat pula menerbitkan Perpu untuk membatalkan UU Pilkada tersebut. Mari kita jaga optimisme rakyat dalam partisipasi demokrasi untuk terus memperjuangkan hak-hak rakyat yang sedang direbut kedaulatannya. ***
http://www.teraslampung.com/2014/09/beralihnya-daulat-rakyat-ke-daulat.html

Dirgahayu 69 tahun Republik Indonesia

17 Agustus 2014, bangsa Indonesia genap berusia 69 tahun sejak proklamasi pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno – Hatta. Momentum kemerdekaan ini merupakan jembatan emas bagi generasi bangsa untuk melakukan pembangunan bangsa di segala sektor kehidupan. 69 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia adalah suatu kebanggaan bagi generasi hari ini, untuk merajut kemerdekaan sesungguhnya bagi bangsa ini.

Ya, kemerdekaan sesungguhnya. Merdeka dari kemiskinan dan ketertinggalan. Kendati Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengklaim berhasil menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Selama lima tahun terakhir sejak 2009, jumlah penduduk miskin Indonesia berkurang 4,25 juta, dari 32,53 juta atau 14,15 persen penduduk menjadi 28,28 juta penduduk atau 11,25 persen.

Namun demikian, tetap saja kemiskinan masih ‘menghantui’ pembangunan. Artinya kemerdekaan belum memberikan akses terhadap pembangunan bagi seluruh masyarakat. Pemerataan pembangunan oleh pemerintah belum mampu mendorong daya saing masyarakat khususnya pada tiga sektor utama seperti pendidikan, akses kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan infrastruktur.

Inilah tantangan kita pada usia 69 tahun Republik Indonesia. Kita masih terus berjuang untuk mencapai pemerataan kesejahteraan masyarakat. Terlebih Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada Desember 2015 mendatang. Perlu upaya kita bersama untuk meningkatkan daya saing tidak saja di Indonesia tapi juga di kawasan regional baik ekonomi, budaya, dan keamanan.

Kemerdekaan yang telah kita lalui 69 tahun tentu saja jembatan emas. Dan hari ini kita telah melalui jembatan tersebut untuk mengisinya dengan berbagai pembangunan sumber daya dengan potensi yang kita miliki. Dirgahayu 69 tahun Republik Indonesia…
[WS, 17/8/2014]

Alumni Cipayung Berharap Relawan Jokowi Tidak Beradu Sodorkan Calon Menteri

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Alumni Kelompok Cipayung mengajak semua relawan dan pendukung pasangan capres-cawapres Jokowi – Jusuf Kalla tidak beradu menyodorkan calon menteri. Sisi lain, presiden terpilih diingatkan agar tidak bias dalam menunjuk pembantunya supaya cita-cita membentuk kabinet kerja yang pro-rakyat dapat terwujud.

“Jika semua sadar dengan posisi ‘relawan’ maka tidak perlu beradu atau berlomba menyodorkan calon menteri lainnya kepada presiden terpilih,” ujar Stefanus Asat Gusma, salah seorang Alumni Cipayung saat berkunjung redaksi Tribunnews.com, Selasa (12/8/2014) petang.

“Kita ini relawan, tapi kok belakangan mendorong nama-nama (untuk calon menteri), tapi yang didorong nama ketuanya sendiri,” kata Gusma, mantan Ketua Presidium Pusat PMKRI.

Mantan Ketua Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI Deddy Rakhmadi mendukung pernyataan Gusma. Menurutnya, selain relawan Jokowi – JK, organisasi masyarakat dan organisasi kepemudaan pun, sebaiknya meninggalkan kebiasaan lama, berebut mengincar jabatan di pemerintahan.

“Kami tidak lagi pada kepentingan hanya menyodorkan nama sebagai calon menteri. Saya masih ingat bebrapa tahun lalu, begitu SBY terpilih, Cipayung menyodorkan nama. Sekarang, kami bukan lagi seperti itu,” kata Deddy.

Walaupun demikian Deddy Rakhmadi mengingatkan presiden terpilih Jokowi perlu memperhatikan pemuda dalam pemerintahannya. “Sebab kita tahu, pemuda diketahui sangat berperan memilih Jokowi. Sebab anak mudalah pemilih dominan Jokowi,” kada dia.

Dia berharap, dalam menentukan menteri atau orang-orang yang akan duduk di pemerintahan, Jokowi jangan sampai bias. Misalnya dalam menentukan Menteri Pemuda dan Olahraga (Mempora). elite pemuda. Seperti sering terjadi selama ini, bahkan sudah menjadi tradisi sejak Orde Baru, ada pemanfaatan elite segelintir pemuda, seperti halnya merekrut untuk menteri berdasar satu organisasi yang mengklain diri sebagai wadah tunggal organisasi pemuda, yakni Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

“Itulah yang kami perhatikan, jangan sampai bias saat merekrut orang-orang yang akan membantunya termasuk dalam merekrut Menpora,” kata Deddy Rachmadi.

Alasan lain mengapa pemerintahan Jokowi – JK perlu mengakomodasi pemuda, kata Gusma menimpali, karena kemenangan Jokowi – JK adalah kemenangan rakyat. “Mengapa? Karena seminggu sebelum hari H, beberapa survei menyebut Jokowi – JK kalah dari Prabowo – Hatta. Tetapi karena ada isu blunder, seperti menyebut dia sinting karen ide membuat hari Santri, lalu rakyat, umumnya kalangan muda, memilihnya,” kata Gusma.

Rachmadi menyinggung program yang kerap disebutkan Jokowi tentang revolusi mental. Pemuda meminta, revolusi mental ini harus dikemas sedemikian rupa sehingga tetap dalam bingkai Pancasila.

“Ada kesan, revolusi mental ditujukan kepada rakyat, yang betul, revolusi kepada pejabat terlebih dahulu, barulah akan berubah pada tatanan sosial lapis bawah,” kata Rahmadi.

Ia mengatakan Pilpres 2014 sebagai momentum politik yang membangkitkan keterlibatan semua elemen bangsa, mirip semangat angkatan 45. Kalau tempo dulu animo rakyat tinggi untuk terlibat angkat senjata, berperang melawan penjajah, kali ini, aktif berpolitik membangun propaganda politik.

“Jadi Inilah saatnya, rakyat terjun ke politik, dan ini fenomena baik. Bila perlu, rebutlah partai politik, karena kita sudah sepakat pimpinan nasional dilakukan melalui demokrasi yang di dalamnya terlibat partai politik,” kata dia.

Masih mengenai metode merekrut menteri, Wayah Sudane mantan Presidium Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia, merekrut menteri juga jangan menyederhanakan masalah dengan mencomot perwakilan berdasarkan daerah maupun kesukuan.

“Merekrut bukan perwakilan kesukuan atau daerah, dari Bali, dari Papua. Tidak. Tetapi lebih perlu melihat seorang calon secara profesional, kompetensi, kapabilitas, dan integritas dan rekam jejaknya,” kata dia.

Terkait kebijakan Jokowi mengundang partisipasi masyarakat memilih dan mengusulkan calon menteri berdasarkan kuis online, Alumni Cipayung menilai seseuatu terobosan yang bagus. Namun ada hal perlu yang diingat presiden terpilih, jangan mengandalkan kuis dalam memilih dan mengangkat menteri. “Jangan sekadar mencari gaya-gaya ngepop, tetapi harus betul-betul melihat rekam jejak dan ideologi mereka,” kata Gusma.

***
Kelompok Cipayung
Kemarin, Gusma bersama sejumlah mantan aktivis organisasi mahasiswa berbasis keagamaan, yang tergabung dalam Kelompok Cipayung, bersilaturahmi ke redaksi Tribun di Jalan Palmerah Jakarta Pusat. Mereka diterima General Manager Newsroom Tribun Network Febby Mahendra Putra.

Para mantan ketua umum dan sekretaris sejumlah organisasi kemahasiswaan baru-baru ini mendeklarasikan pembentukan Ikatan Cipayung. Mereka umumnya aktif kebagai pimpinan organisasi tahun antara 2006 hingga 2013.

Mereka antara lain mantan Ketua Umum PB HMI Noer Fajrieansyah, mantan Ketua PB HMI Muhammad Syafii, mantan Ketua Umum PMII Addin Jauharudin, mantan Ketua Presidium PMKRI Stefanus Gusma. Kemudian mantan Ketua Presidium GMNI Deddy Rachmady, mantan Presidium KMHDI Wayan Sudane, mantan Sekretaris Umum GMKI Yozthin Thelik, dan mantan Ketua Umum IMM Sihadul Mubarak.

Cikal bakal Kelompok Cipayung adalah sebuah diskusi bertema “Indonesia yang Kita Cita-Citakan”. Ada empat ormas pemuda yang menyelenggarakan diskusi pada tanggal 19-22 Januari 1972 itu di Cipayung, Puncak, Jawa Barat.

Pertemuan itu kemudian menghasilkan kesepakatan terbentuknya “Kelompok Cipayung”. Kesepakatan tersebut ditanda-tangani oleh pimpinan keempat organisasi itu, yakni Akbar Tanjung (Himpunan Mahasiswa Islam/HMI), Soerjadi (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia/ GMNI), Chris Siner Key Timu (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia/PMKRI) dan Binsar Sianipar (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia/GMKI). Belakangan organisasi kemahasiswaan lainnya bergabung ke Kelompok Cipayung seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), dan Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Hikmahbudhi). (domu d ambarita)

Tokoh Umat Hindu Sikapi Hasil Pilpres

JAKARTA, NusaBali | Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat telah mengumumkan pemenang Pemilu Presiden (Pilpres) pada, Selasa (22/7). Hasilnya pasangan nomor urut dua Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Tokoh umat Hindu, yakni Ketua PHDI Pusat Sang Nyoman Suwisma dan Ketua Peradah Indonesia Wayan Sudane menegaskan, hasil tersebut harus diikuti.

“Apa yang telah dilakukan lembaga negara merupakan kesepakatan konstitusi. Seluruh rakyat Indonesia harus mengikuti,” ujar Ketua PHDI Pusat, Sang Nyoman Suwisma kepada NusaBali, Rabu (23/7). Jika ada yang menilai terdapat kecurangan-kecurangan secara hukum bisa diselesaikan lewat jalur hukum.

Meski begitu, Suwisma menyarankan agar permasalahan tersebut diselesaikan dengan musyawarah. “Sebab itu adalah budaya dan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia. Oleh karenanya perlu mengedepankan kedamaian serta musyawarah mufakat lantaran hal itu adalah bagian dari Bhinneka Tunggal Ika. Bukan untuk mencari perbedaan, melainkan persatuan dan kesatuan,” ungkapnya.

Suwisma berharap terpilihnya presiden baru agar masyarakat mayoritas menjaga minoritas demi keutuhan, harmonisasi dan stabilitas yang terjamin. Kemudian ia berpesan kepada seluruh masyarakat jangan mendahulukan kepentingan golongan, melainkan utamakan kepentingan bangsa dan negara. “Harapan saya presiden terpilih nanti betul-betul jaga NKRI,” tegas Suwisma.

Selain itu, tidak membawa-bawa nama kelompok pengusungnya dan memikirkan kepentingan bangsa sehingga perbedaan bisa diredakan. Oleh karena itu, siapa pun yang terpilih sebagai pemimpin Indonesia harus bisa menempatkan diri dan tak lupa memperhatikan aspirasi dari setiap komponen bangsa. Dengan adanya pemimpin Indonesia baru, Suwisma mengajak umat Hindu untuk meningkatkan solidaritas, kerukunan dan keharmonisan. Kemudian meningkatkan kualitas prestasi agar punya arti. Lalu saling bantu dan tidak saling menjelekkan untuk bisa lebih maju lagi.

Sedangkan kepada masyarakat luas, Suwisma mengatakan, agar mayoritas dari bangsa ini dapat melindungi keluarga sebangsanya, termasuk umat Hindu. Selanjutnya taat hukum dan beri kontribusi yang maksimal bagi bangsa dan negara. Sementara Ketua Umum Perhimpunan Pemuda Hindu (Peradah) Indonesia, Wayan Sudane berharap, pemimpin Indonesia yang baru terpilih ini dapat melakukan perubahan pada tata kehidupan berbangsa yang lebih baik. Mulai dari birokrasi, pelayanan warga seperti pendidikan dan kesehatan. “Untuk ke umat Hindu, perhatiannya perlu ditingkatkan pula. Presiden juga perlu menjamin kerukunan umat beragama tanpa diskriminasi,” terang Sudane.

Terkait hasil KPU, kata Sudane, kita harus menghormati keputusan KPU sebagai bagian dari proses demokrasi. Pasalnya apa yang telah diputuskan oleh KPU merupakan aspirasi dari masyarakat untuk bangsa Indonesia. “Kita harus melangkah ke depan untuk kembali membangun bangsa ini,” ucap Sudane. 7 k22