Beralihnya Daulat Rakyat ke Daulat Parpol

Pasca-diputuskan melalui voting pada Jumat (26/9) dini hari, UU Pilkada menuai kritik cukup keras dari rakyat yang dituangkan melalui berbagai aksi dan media sosial. Tagar #ShameOnYouSBY, #ShamedByYou, dan #ShamedByYouAgainSBY secara bergilir menjadi trending topic di twitter.

Dalam voting 135 anggota DPR memilih pilkada langsung dan 226 anggota memilih pilkada melalui DPRD/ Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan 124 anggota DPR yang merupakan fraksi Demokrat memilih sikap walk out dari sidang paripurna dan menyisakan 6 anggota yang tetap memilih pilkada langsung.

Kini, bola panas justru berada di Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga merupakan ketua umum Partai Demokrat. Hal ini disebabkan adanya manuver dari Partai Demokrat yang menjadi king maker dalam hitungan matematis keputusan UU Pilkada tersebut. Sebelumnya, SBY dalam kapasitasnya sebagai ketua umum Partai Demokrat menyampaikan dukungannya terhadap pilkada langsung. Bila hal ini sesuai dengan arahan SBY tersebut, sudah pasti keputusan paripurna adalah pemilihan langsung.

Tuntutan terhadap komitmen dan kekecewaan SBY pasca putusan sidang paripurna yang menetapkan pilkada melalui DPRD pun terus mengalir. Sebagai konsistensi ucapan, SBY diminta untuk tidak menandatangani UU Pilkada tersebut meski setelah 30 hari undang-undang tetap berlaku tanpa tanda tangan presiden. Bahkan SBY pun diminta untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk membatalkan UU Pilkada tersebut.

Blunder yang dilakukan SBY dan Partai Demokrat tak lepas dari komunikasi politik pasca pemilihan presiden yang diikuti oleh dua kubu yaitu Joko Widodo – Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto – Hatta Radjasa (Koalisi Merah Putih). Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden lalu, SBY dan Partai Demokrat cenderung tak menampakan posisi yang jelas. Demikian juga dari kubu Jokowi – JK, komunikasi politik lebih banyak dilakukan oleh Jokowi dibandingkan dengan ketua umum PDIP Megawati Soekarno Putri. Komunikasi politik antara SBY dan Megawati Soekarno Putri bisa dikatakan tidak ada.

Begitu juga dengan draft awal RUU Pilkada yang diusulkan pemerintah. Sikap SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat pun bertolak belakang dengan usulan awal pemerintah yang mengajukan pilkada melalui DPRD mengingat SBY juga sebagai kepala pemerintahan (presiden).

Warisan Buruk Pemerintahan SBY

Kembalinya sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD tentu saja menegasikan buah dari reformasi yang telah berlangsung lebih dari satu dasa warsa. Rakyat kini mulai aktif dalam partisipasi politik dalam pemilihan kepala daerah bahkan puncaknya dalam pemilihan presiden dan wakil presiden lalu. Sistem yang dipilih oleh rezim hari ini merupakan wujud penghianatan terhadap partisipasi dan aspirasi rakyat untuk menentukan pemimpinnya.

Warisan buruk di akhir pemerintahan SBY melahirkan kekuatan partai politik model baru dengan mengabaikan partisipasi politik warga negara. Keseimbangan fungsi eksekutif (gubernur, bupati/ walikota) dan legislatif (DPRD) sulit dicapai ketika eksekutif dipilih oleh legislatif (DPRD). Sebaliknya, eksekutif akan tunduk pada kebijakan-kebijakan legislatif alias potensi kolusi kebijakan antara eksekutif dan legislatif terbuka lebar. Sementara rakyat hanya menjadi penonton tanpa bisa banyak berbuat dan menuntut kepada eksekutif. Posisi lemah eksekutif tersebut sebagai wujud balas budi terhadap keterpilihannya oleh legislatif.

Pola keseimbangan terjadi, bila eksekutif dan legislatif sama-sama dipilih oleh rakyat sehingga baik eksekutif maupun legislatif benar-benar bertanggungjawab dan mendengarkan rakyat. Disinilah substansi dari pemilihan langsung. Rakyat menjadi subjek sekaligus objek dalam pembangunan daerah. Rakyat menemukan substansi dari kehidupan demokrasi dengan semakin banyak lahirnya pemimpin-pemimpin berkualitas dari dan oleh rakyat. Pemimpin yang lahir karena pengabdian dan kerja nyata kepada rakyat yang kemudian memvisual kepada sosok/ figur bukan pada kekuatan partai politik.

Dengan disahkanya UU Pilkada, partai politik kembali menemukan ‘kekuatannya’ untuk melahirkan kekuasaan. Partai politik memegang kedaulatan untuk merumuskan kekuasaan dalam menentukan pemimpin daerah. Bahkan sangat mungkin, politik uang yang selama ini dijadikan alasan dalam kelemahan pilkada langsung tak dapat dihilangkan. Sebaliknya, peluang untuk penyalahgunaan kewenangan dan politik transaksional dalam pemilihan melalui DPRD tetap terbuka lebar. Inilah warisan terakhir masa pemerintahan SBY yang melukai hati rakyat.

Pemimpin Lahir dari Rakyat

Selama satu dasa warsa terakhir, bangsa Indonesia banyak melahirkan pemimpin-pemimpin dari rakyat. Bahkan Joko Widodo presiden terpilih pada pemilu 2014 merupakan sosok rakyat yang mengawali karir politiknya melalui walikota Solo. Selain itu banyak individu-individu luar biasa yang berasal dari rakyat biasa menjadi pemimpin harapan rakyat, bekerja dan memperjuangkan kehendak rakyat.

Melalui pemilihan langsung, rakyat diajak secara aktif untuk menentukan pemimpin daerah melalui partisipasi pemilih, proses pembangunan, hingga wujud pertanggungjawaban. Memang tidak dapat dipungkiri, pada awal pelaksanaannya, rakyat sempat apatis kendati trauma terhadap orde baru. Dan kini ketika rakyat sedang menemukan substasi dari demokrasi, justru tatanan tersebut dirusak oleh sekelompok wakil rakyat yang notabene dipilih oleh rakyat juga.

Kedaulatan rakyat kini beralih menjadi kedaulatan partai politik dimana penentuan pemimpin daerah ‘bisa diatur’ dari Jakarta oleh tokoh-tokoh sentral partai politik. Dan tak dapat dipungkiri pula, peluang transaksional kembali bersemi dalam tatanan pemilihan kepala daerah di tingkat DPRD. Pemimpin lahir dari partai politik, bukan dari rakyat.

Berharap adanya reformasi partai politik saat ini tentu saja sesuatu yang mustahil. Kekuasaan telah merubah pola pikir substansi kehadiran partai politik yang antara lain sebagai pendidikan politik, dan rekruitmen dan kaderisasi pemimpin publik. Dapat dilihat saat ini, partai politik hanya menjadi sarana dalam melanggengkan kekuasaan untuk mencapai pundi-pundi keuangan. Partai politik menjadi jembatan terjadinya ‘perselingkuhan’ antara penguasa dan pengusaha.

Kekuasaan partai politik kian menemukan jalannya. Realitas inilah yang kemudian menjauhkan rakyat dengan pemerintah yang sejatinya sebagai tumpuan untuk saling berinteraksi mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Alih-alih memberikan pelayanan optimal, pemimpin pilihan DPRD tentu akan mengutamakan kepentingan wakil rakyat daripada rakyat.

Namun demikian, sebagai bangsa yang besar, segala perdebatan konstitusional harus diselesaikan juga dengan cara-cara yang konstitusional. Saatnya untuk melakukan uji terhadap UU Pilkada tersebut, dan atau mendorong kepemimpinan Jokowi – JK untuk melakukan revisi yang tentu saja membutuhkan komunikasi politik yang baik pada tingkat parlemen dan partai politik. Bahkan, kepempinan Jokowi – JK dapat pula menerbitkan Perpu untuk membatalkan UU Pilkada tersebut. Mari kita jaga optimisme rakyat dalam partisipasi demokrasi untuk terus memperjuangkan hak-hak rakyat yang sedang direbut kedaulatannya. ***
http://www.teraslampung.com/2014/09/beralihnya-daulat-rakyat-ke-daulat.html

share yuk:

Seperti Apa Komunikasi Politik umat Hindu ?

Seperti kita saksikan diberbagai media baik cetak maupun elektronik, banyak pakar dan elit politik menyampaikan bahwa tahun 2009, akan diriuhkan dengan berbagai agenda politik dalam ajang pemilihan umum (pemilu) legislatif (DPR, DPRD, DPD) yang disusul dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Tak heran lantas banyak kalangan menyebut tahun 2009 ini sebagai tahun politik. Tahun dimana akan terjadi integrasi antara berbagai kepentingan baik kelompok maupun kepentingan bangsa dan negara.
Kita pun selalu disajikan dengan berbagai adegan politik melalui berbagai keputusan yang fenomenal ditengah mepetnya waktu penyelenggaraan pemilu yang tinggal beberapa bulan lagi. Misalnya saja keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 tentang pemilu. Hasilnya penetapan anggota legislatif untuk Pemilu 2009 akan ditentukan dengan sistem suara terbanyak.
Keputusan itu tentu dapat mendorong proses demokrasi yang substansi ditengah banyaknya keraguan kepada partai politik. Sang calon legislatif (caleg) pun didorong bekerja lebih giat untuk memperoleh suara dari pemilih. Sebuah proses demokrasi yang mulai terbuka ditengah pendidikan politik yang belum begitu baik. Kalau ini dapat berjalan baik, artinya para elit partai dapat menerima dengan lapang dada dan melaksanakan keputusan ini dengan bijak, politik di tanah air ini dapat dicapai dengan baik pula.
Pendidikan Politik
Tak dipungkiri proses demokrasi ini membawa dampak yang lumayan banyak bagi proses kehidupan bernegara umat Hindu. Proses ini tentu sebuah kewajiban dharma negara umat dalam mengawal proses kenegaraan yang diyakini tak lepas dari tuntutan politik. Artinya, kepentingan umat Hindu nasional dapat diperjuangkan melalui jalur-jalur politik. Untuk itu infrastruktur dan penguasaan beberapa elemen strategis sangat penting, salah satunya adalah legislatif baik kabupaten/ kota, provinsi, hingga nasional. Untuk itu semakin banyak umat Hindu menduduki posisi-posisi legislatif tersebut, tentu akan semakin baik pula kepentingan umat Hindu ter-aspirasikan di pemerintahan.
Masalahnya kemudian adalah pada proses pencapaian posisi legislatif yaitu untuk menduduki kursi dewan perwakilan rakyat (DPR). Politisi Hindu yang mencalonkan diri dibeberapa daerah dari berbagai partai politik tentu tidak lepas dari harapan kepada umat Hindu itu sendiri sebagai pemilihnya. Disinilah pendidikan politik dan kedewasaan politik umat Hindu diperlukan. Artinya juga harus ada koordinasi dan paradigma yang baik sehingga tidak terjadi eksploitasi kepentingan baik bagi sang calon maupun umat sebagai pemilih.
Dalam UU No. 2 tahun 2008 tentang partai politik dijelaskan bahwa pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nah, dari definisi itu dapat kita tangkap bahwa harus ada sebuah pemahaman antara pemilih dan yang akan dipilih (caleg) dalam suatu visi yang sama.
Dari kesemuanya itu, adakah sebuah proses pendidikan yang sudah dilakukan sang calon ? atau hanya sebuah retorika pencitraan yang melupakan proses pendidikan politik.
Beberapa hal yang harus dicermati adalah track record dari sang calon, yang tentu terkait dengan latar belakangnya. Tak sedikit juga para calon yang selalu mengumbar janji dalam komunikasi politik yang dilakukan. Ada keselarasan antara pendidikan politik yang belum baik ditutupi dengan kemasan kampanye super baik sehingga tertanam (positioning) citra produk politik yang baik.
Dengan ramainya hiruk pikuk pasar politik saat ini, sungguh sangat sulit membedakan antara kampanye politik dan kampanye pemilu. Menurut Firmanzah dalam bukunya Marketing Politik, antara pemahaman dan realitas, menjelaskan harus ada redefinisi kampanye. kedua hal ini memiliki perspektif yang berbeda. Misalnya dari dari tujuannya, kampanye pemilu cenderung menggiring pemilih ke blik suara, sedangkan kampanye politik lebih menitik beratkan pada image politik. Begitu juga dari strategi yang dilakukan, kampanye pemilu untuk melakukan mobilisasi dan berburu pendukung (push-marketing), sedangkan kampanye politik untuk membangun dan membentuk reputasi politik (pull-marketing). Nah, tentu kampanye politik memerlukan waktu yang cukup panjang, sedangkan kampanye pemilu cenderung jangka pendek, sesuai kebutuhan. Dari sinilah dapat dibaca track record sang calon legislatif maupun partai politik mengingat setiap aktivitas partai politik selalu menjadi perhatian masyarakat.
Masyarakat tentu dapat dengan cermat memperhatikannya, agar suara tidak sia-sia begitu saja. Sebuah ikatan relasional akan terbangun bila sang calon menyadari arti pentingnya politik dan konstituen yang ia wakili. Memberikan konstribusi bagi pembangunan umat Hindu melalui pola keterwakilan dalam pemerintahan.
Kondisi ideal ini sangat sulit dicapai karena berbagai hal, salah satunya adalah masih lemahnya infrastruktur umat Hindu. Salah satu indikatornya adalah dapat dilihat dari organisasi massa berbasis Hindu. Prajaniti Indonesia yang memang didedikasikan untuk mengakomodir kepentingan dan perjuangan politik umat Hindu tidak dapat berjalan dengan baik. Sementara organisasi lainnya memiliki fokus dan ladang garapan yang berbeda seperti Peradah Indonesia, lebih fokus pada pembinaan para pemuda, KMHDI lebih fokus pada kaderisasi para kader mahasiswa. Pun WHDI yang menaungi kegiatan wanita Hindu Indonesia.
Al hasil Parisada, sebagai majelis tertinggi terkadang tak luput harus mengakomodir dan melakukan ‘regulator’ berbagai kepentingan politik umat. Dalam arti Parisada pun harus menampung berbagai keluhan politik umat, belum lagi masalah pembinaan umat. Akhirnya majelis kita memikul beban masalah yang begitu berat. Selanjutnya patut juga dipertanyakan, kemana Prajaniti Indonesia yang seharusnya dapat lebih maksimal berperan sebagai ‘regulator’ perjuangan dan kepentingan politik umat Hindu ?
Pertanyaan selanjutnya adalah seperti apa komunikasi politik umat Hindu menjelang pemilihan umum 2009 ? Adakah yang berperan sebagai ‘regulator’ untuk mewadahi aspirasi umat Hindu dalam perjuangan kepentingan umat Hindu di tanah air ?

share yuk:

”Adakah yang Memelihara Pohon itu?”

ADA sebuah kegelisahan yang dilontarkan oleh salah satu tokoh yang dituakan malam itu. Ia melihat tidak adanya generasi-generasi yang meneruskan kepemimpinannya. Ada sebuah kecenderungan anak muda kita tidak lagi perduli kepada lingkungan sosialnya. Ia menuturkan sangat jarang generasi dibawahnya terutama yang muda-muda mau berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan seperti ngayah, dan sebagainya.

Hal yang sama juga ternyata dirasakan oleh beberapa teman-teman yang aktif di kampus atau yang sering dipanggil aktivis kampus. Dalam sebuah obrolan ringan menjelang malam dengan seorang teman ada sebuah pertanyaan yang hampir sama dengan kegelisahan sang tokoh tadi. ”Mengapa mahasiswa-mahasiswa Hindu atau kader-kader muda Hindu kita tidak mau aktif dalam kegiatan sosial keagamaan?,” tuturnya.

Tidak berhenti disitu, pertanyaannya juga secara tidak langsung ternyata ditujukan kepada senior ataupun sang tokoh yang dituakan tadi. ”Mengapa senior dan ’orang tua’ kita tidak memberikan pembinaan sehingga ada sebuah proses transformasi? Dan yang ironis lagi, mengapa yang muda seolah terus dieksploitasi sementara tidak ada pembinaan kepada generasi muda tadi.”

Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin juga ada para generasi-generasi muda lainnya. Memang ada sebuah kecenderungan yang muda dituntut untuk memberikan kontribusi namun sering tidak dibarengi dengan pembinaan sehingga terjadi proses transformasi. Bagaimana mereka-mereka yang muda mau berkecimpung sementara tidak ada sesuatu nilai-nilai yang mereka dapatkan. Atau memang ada sebuah kepercayaan pada generasi tua seperti iklan ditelevisi bahwa yang muda belum dipercaya.

Mahasiswa yang notabene adalah kaum muda adalah generasi yang siap menampung nilai-nilai dari generasi yang lebih tua. Mahasiswa dan kaum muda adalah aset yang suatu saat akan mewarisi seluruh potensi yang ada. Bila ini tidak disadari dari sekarang dan tidak ada penanaman nilai-nilai yang dianggap benar sejak dini suatu saat kita akan kehilangan aset itu.

Mereka ibarat pohon, sebut saja pohon mangga. Untuk menghasilkan buah mangga yang segar dan baik (tidak busuk) pohon mangga tersebut harus dipelihara dengan baik pula. Tentu hasil atau buah tersebut tidak seketika. Ada sebuah proses yang harus dilakukan untuk mendapatkan buah yang baik. Pohon tersebut harus dipupuk secukupnya, pemberian pengobatan agar terhindar dari hama-hama maupun penyakit lainnya. Bila itu dilakukan secara baik tentu akan dihasilkan buah yang baik pula, segar dan enak untuk dimakan. Menjadi ironis kalau kita tidak pernah menanam pohon mangga, tidak pernah memeliharanya, kemudian mau memetik buahnya.

Analogi tersebut tampaknya berlaku juga untuk kaderisasi kaum muda. Kaum muda perlu mendapatkan ’pupuk’ berupa penanaman nilai-nilai yang diyakini membawa perubahan untuk perbaikan. Ketika semangat mereka surut perlu adanya dukungan yang akan menjadi ’air’ penyejuk sehingga mereka akan segar kembali. Kalau ini dilakukan kelak tentu mereka akan menghasilkan ’buah’ yang siap untuk dipetik.

Untuk memulai menanamkan nilai-nilai kepada kaum muda ada beberapa cara. Dari pengamatan penulis dapat dimulai dari bawah yang berarti ada dorongan dari kalangan muda itu sendiri untuk mengajak senior atau orang tua untuk bersama-sama menanam agar kelak ada suatu buah yang dihasilkan. Kedua, dorongan itu memang muncul dari atas yang berarti memang ada niatan dari senior atau orang tua untuk meneruskan sistem yang telah dibentuk agar ada kelangsungan dan perbaikan terus menerus. Ketiga karena ada suatu benturan sehingga ada paradigma baru untuk melahirkan sistem alias menanam kembali.

Faktor-faktor itu tentu akan menjadi wilayah penciptaan kader yang akan menghasilkan buah segar yang dapat dinikmati oleh si penanam ataupun siempunya. Lantas bagaimana distribusi buah-buah yang sudah siap tersebut? Dimana wilayah pasar atau dimana pasnya buah tersebut dijual agar memiliki pembeli dan harga pasar yang pas?

Itu juga akan menjadi masalah tersendiri. Faktor distribusi kader juga menjadi masalah kalau tidak disiapkan sejak awal. Begitu juga dengan posisi persaingan yang harus dilihat kedepan. Kalau tidak buah tersebut tidak akan memiliki nilai yang berarti karena hanya dapat dimakan sekali tanpa ada sebuah kontinuitas.

Untuk mewujudkan hal ini memang membutuhkan paradigma atau cara pandang sebagai suatu perjuangan yang akan memberikan manfaat dan hasil yang dicita-citakan. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan generasi Hindu akan ’naik kelas’?

share yuk:

Kebangkitan yang Belum Bangkit

Sejak reformasi tahun 1998, kondisi bangsa dan negara Indonesia memberikan harapan baru. Masyarakat mulai membuka berbagai kran-kran demokrasi, ekonomi, politik, sosial, budaya dengan bebas tanpa adanya kekangan. Hal ini dapat dimaklumi lantaran rezim sebelumnya tidak memberikan kesempatan untuk melakukan ekspresi dan aktualisasi baik dalam politik, ekonomi maupun budaya.

Upaya reformasi disegala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut tentu saja ada sebuah landasan semangat. Rasa nasionalisme dan kecintaan kepada tanah air tumbuh dari berbagai tantangan baik dari penjajahan maupun dari segi politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya yang terus memberikan tekanan kepada masyarakat.

Dibidang ekonomi tekanan dan nasionalisme itu tumbuh dari berbagai kenyataan bahwa sebagian dan hampir aset ekonomi vital bangsa dikuasai oleh asing. Berbagai upaya penghentian eksploitasi ekonomi asing pun dilakukan. Harus diakui bahwa fenomena ini cenderung mempengaruhi aspek kehidupan lainnya. Misalnya saja kebijakan harga, kebutuhan pangan yang berpengaruh pada budaya masyarakat dan sebagainya.

Apatisme masyarakat yang mengarah pada perubahan budaya juga menjadi semangat dalam penguatan nasionalisme. Reaksi ini bisa kita lihat dari adanya pengakuan-pengakuan oleh negara lainnya akan budaya dan nilai-nilai sejarah bangsa. Adanya kejadian ini juga menyulut berbagai elemen untuk membangkitkan semangat kecintaan kepada budaya Indonesia. Berbagai kalangan siap turun untuk membela Indonesia bahkan menuntut pemerintah untuk bersikap tegas.

Namun apakah semua pembelaan terhadap ke-Indonesia-an itu merupakan wujud nasionalisme? Tantangan ada pada diri bangsa dan negara Indonesia. Nilai-nilai nasionalisme harus juga disadari mulai luntur akibat masyarakat Indonesia itu sendiri. Misalnya saja semangat primordialisme, kesukuan, sektarian justru cenderung menguat dalam lapiran masyarakat. Misalnya saja dalam hiruk pikuk pemilihan kepala daerah. Arus balik nasionalisme mulai tampak dari pendekatan-pendekatan dalam penentuan calon, tim sukses hingga elit politik sering mengeksploitasi sentimen primordialisme tersebut. Fanatisme kelompok semakin mengkristal dan sering kali mengalahkan sentimen kebangsaan.

Eksploitasi semangat kedaerahan maupun sektarian berlebihan dalam rangka power building tentu menjadi ancaman bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia – NKRI. Karena hal itu akan memupuk disintegrasi bangsa dan perpecahan sesama anak bangsa. Semangat toleransi dalam ke-bhinneka-an menuju tunggal ika dalam berbangsa dan bernegara mulai melemah.

Apa yang Membangkitkan?
Apakah ini gejala menurunnya nasionalisme? Lantas apa makna kebangkitan nasional tersebut? Pertanyaan itu mulai muncul dengan fenomena-fenomena yang muncul hari ini. Kebangkitan nasional yang ditandai berdirinya organisasi Boedhi Oetomo pada 20 Mei 1908 menjadi momentum untuk memulai kehidupan berbangsa dan bernegara kala itu.

Nilai kebangkitan nasional itu tentu terkait dengan perjuangan untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan pembangunan bangsa Indonesia. Perjuangan secara holistik diharapkan dapat memperdayakan seluruh potensi untuk mencapai kemerdekaan. Tentu berbicara kebangkitan kita ingin sebuah semangat untuk mencapai masyarakat yang diidam-idamkan (imagined society).

Adanya rasa seperjuangan itu kemudian melandasi nilai nasionalisme tumbuh dalam setiap jiwa masyarakat. Apalagi momentum itu mampu membangkitkan semangat walau sebelumnya sudah ada beberapa organisasi seperti Syarikat Dagang Islam pada tahun 1905. Namun kekuatan semangat dan perjuangan yang membangkitkan segenap komponen belum dilakukan.

Kondisi masa lalu tersebut tentu masih menjiwai semangat kebangkitan hari ini. Berbagai upaya coba dilakukan oleh elit politik dan pemimpin bangsa untuk kembali meneguhkan ruh dari semangat kebangkitan nasional tersebut. Entah hanya untuk sekedar untuk pencitraan dalam rangka pemilihan umum atau memang untuk menemukan kekuatan dari ruh kebangkitan nasional tersebut.

Menemukan Kembali Kebangkitan
Kekuatan untuk membangkitkan semangat itu tentu membutuhkan infrastruktur dan perjuangan yang sama. Kondisi hari ini menandakan perjuangan yang terbesar adalah perjuangan yang bisa dikatakan melawan diri sendiri, bangsa Indonesia. Melawan kekuatan yang meruntuhkan moral dan melemahkan sendi-sendi keanekaragaman. Sebut saja korupsi. Apakah tahun ini bisa dikatakan kebangkitan melawan korupsi? Ada harapan seperti itu pasca dan mulai terungkapnya berbagai tindak korupsi ditubuh eksekutif, legislatif hingga yudikatif di negara kita yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Melihat berbagai runutan peristiwa kebangsaan, rasanya kita belum bangkit. Masih banyak hal-hal yang belum membuat kita bangkit. Kemiskinan, pendidikan, kelaparan dan sebagainya. Rasanya tidak pernah lepas dari sajian media. Kebangkitan ini belum benar-benar dirasakan oleh warga masyarakat.

Hingga sekarang kita belum juga bisa menuntaskan berbagai fenomena yang sangat menyulitkan warga. Sebagai contoh masih adanya ketidakpuasan warga yang ditunjukkan dengan aksi hingga demontrasi dijalanan. Bahkan ke-bhinneka-an pun mulai terusik dengan adanya kelompok-kelompok yang tidak menghendaki perbedaan di Indonesia.

Dari sudut ekonomi, sosial politik menuju ranah agama sering menjadi benturan dalam masyarakat Indonesia. Dulu persatuan yang dikehendaki adalah unity atau kesatuan. Namun sekarang sudah ditafsirkan sempit menjadi uniformity (keseragaman). Ini menunjukan adanya perubahan sosial yang mulai melupakan jati diri masa lalu yang telah membentuk bangsa ini, Bhinneka Tunggal Ika.

Indonesia, dulu, kini dan yang akan datang perlu terus mawas diri menemukan arti kebangkitan itu. Semangat dan revitalisasi nasionalisme ini menjadi penting dalam mengawal proses demokrasi dalam negara hukum dan untuk mencapai keadilan masyarakat Indonesia. Dalam Weda – Atharwa Weda XII.1.46 juga ditegaskan, Bekerjalah untuk tanah air dan bangsamu dengan berbagai cara. Hormatilah cita-cita bangsamu. Ibu Pertiwi sebagai sumber mengalirnya sungai kemakmuran dengan ratusan cabang. Hormatilah tanah airmu seperti kamu memuja Tuhan. Dari jaman abadi Ibu Pertiwi memberikan kehidupan kepadamu semua, karena itu engkau berhutang kepada-Nya. Untuk itu menjadi penting bagi umat Hindu sebagai bagian dari bangsa Indonesia untuk mencintai tanah air-nya sehingga benar-benar menemukan arti kebangkitan itu. Bangkit dari kemiskinan, bangkit dari keterbelakangan.

share yuk:

Perdamaian untuk Kesejahteraan

Terbangun dan melihat kesekitar, seolah penuh dengan persoalan dan masalah. Hidup ditengah-tengah kemajemukan penuh dengan perbedaan. Dimulai dengan bedanya budaya, suku, agama, dan sistem sosial lainnya merupakan dua sisi yang memberikan dampak berbeda. Disatu sisi memberikan hikmah kekayaan budaya untuk menjalin persatuan. Disisi lain merupakan ancaman untuk menanamkan benih-benih konflik baik horizontal maupun vertikal.

Keberagaman tersebut bila disadari dengan semangat persatuan memang merupakan keunggulan yang dimiliki  bangsa Indonesia. Sebagai sebuah komunitas, dengan perbedaan tadi perlu suatu perekat untuk mengakomodir dan mewujudkan perdamaian. Semangat dari perdamaian senantiasa harus menyertai setiap perjuangan menegakan kebenaran.

Ajaran masing-masing agama tentu memiliki perbedaan juga. Namun semua agama mengajarkan nilai-nilai perdamaian. Bahkan dalam ajaran agama pun mengajarkan nilai-nilai universal untuk menjunjung tinggi pemeluk agama lainnya. Dan ajaran agama tersebut merupakan keyakinan yang mampu memberikan motivasi perilaku para umatnya.

Dengan keyakinan dan fanatik yang berlebihan kadang orang menganggap agamanyalah yang paling benar. Sehingga jangan heran bila terjadi militansi yang kemudian muncul kekerasan mengatasnamakan agama. Tentu hal ini kontradiksi dengan perjuangan tokoh antikekerasan dan pluralisme.

Beberapa hari lalu, 29-30 Januari, dunia kembali diingatkan pada  perdamaian ini. Di India diadakan konferensi internasional dalam rangka 100 tahun gerakan Satyagraha yang dipelopori Mahatma Gandhi. Pertemuan tersebut tentu mengingatkan kita pada perdamaian yang dibawakan oleh pria dengan nama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi.  Di Indonesia juga digelar Global Forum bertajuk perdamaian. Forum ini berupaya menciptakan perdamaian melalui pembangunan media dan sumber daya manusia.

Perdamaian adalah sebuah awal untuk mencapai kesejahteraan. Gandhi memberikan ajaran perdamaiannya kepada dunia yang hingga kini selalu dikenang. Ahimsa, tindakan tanpa kekerasan dalam setiap langkah kehidupan.  Satyagraha, menerapkan kekuatan yang menjunjung tinggi pada kebenaran. Aparigraha, sikap tidak memiliki terhadap kebendaan. Dan Samakhava, tidak merasa terganggu karena perasaan sakit ataupun bahagia, terus berjuang tidak perduli akan hasilnya, berhasil atau gagal.

Ajaran Gandhi ini memberikan inspirasi pada tokoh-tokoh dunia lainnya. Nelson Mandela, pejuang kulit hitam dan kemudian menjadi Presiden Afrika Selatan pada 1984, mengakui bahwa ketabahan ekstra yang dijalani Gandhi telah menjadi inspirasi baginya untuk bisa bertahan saat menentang politik apartheid yang berlangsung puluhan tahun. (Kompas, 4/2/07)

 

Tanpa Kekerasan

Ahimsa yang diajarkan oleh Gandhi tersebut  seolah menjadi pengingat bagi kita saat ini. Mewujudkan perdamaian dengan tanpa kekerasan sangat relevan dengan pesan tokoh dunia yang lahir 2 Oktober 1869 ini. Satyagraha, metode perjuangan dengan berpegang pada kebenaran dan tanpa kekerasan. Semangat yang harus ada pada setiap pemikiran untuk membangun bangsa. Dimana kebenaran hendaknya selalu dijunjung pada setiap perbuatan, baik pada kehidupan politik, ekonomi, budaya dan sosial.

Ajaran yang mulia ini akan selalu relevan setiap jaman bila dimaknai dalam setiap gerak kehidupan. Tidak serta merta tanpa kekerasan dalam pertikaian maupun pertempuran. Anti kekerasan juga dapat dimaknai dalam berbagai sisi baik perbuatan maupun pemikiran. Semangat ini hendaknya menjiwai setiap pemikiran bangsa untuk membangun kemajuan masyarakat.

Tanpa kekerasan, tidak menyakiti hendaknya menjadi dasar dalam perjuangan para tokoh bangsa baik politisi hingga budayawan. Tidak menyakiti hati rakyat, tidak main sikut untuk meraih ‘kursi’ adalah implementasi ajaran dalam kehidupan politik. Semuanya didasarkan pada kebenaran yang harus dijunjung tinggi.

Begitu juga Aparigraha  dan Samakhava, bentuk perjuangan yang tidak mengharapkan pamrih. Perbuatan untuk kesejahteraan masyarakat dengan tidak mengharapkan balas budi. Tidak terikat pada hasilnya dan selalu dalam posisi seimbang. Tidak terikat pada hasil. Ajaran ini relevan dengan perjuangan para tokoh dan elemen bangsa dalam membangun Tanah Air. Hendaknya semangat inilah yang menjadi pijakan dalam setiap gerak dan arus perpolitikan bangsa. Tidak selalu harus mengharap balas budi dari sejumlah konstituen misalnya. Tidak juga mengharap imbalan dan posisi tawar tertentu.

Bekerja tanpa pamrih. Melaksanakan tugas tanpa embel-embel masih belum banyak diterapkan oleh tokoh di negara Indonesia. Masih banyak politisi yang melakukan investasi politik dengan harapan imbalan tertentu. Padahal bila hal itu dilakukan dengan prinsip tanpa pamrih, bukankah masyarakat akan lebih ilegan menilainya.

Mengentaskan Kemiskinan

Gandhi tidak saja menginginkan kehidupan dengan perdamaian tanpa kekerasan. Namun juga kehidupan dengan kesejahteraan dan kebangkitan untuk semuanya. Ajaran ini dikenal dengan sarvodaya. Dengan konsep ini, Gandhi juga menghendaki kehidupan ekonomi yang lebih baik dan kesejahteraan untuk semua.

Kehidupan perekonomian, menurut Gandhi harus memberikan kesejahteraan bagi semua penganut ajaran agama. Gandhi tidak berfokus pada kekayaan namun pada manusia. Ia menginginkan manusia memperoleh tempat yang selayaknya. Gandhi tidak ingin memisahkan aspek ekonomi dan spritual. Kedua aspek ini harus berjalan seimbang dan harmonis untuk mencapai kesejahteraan.

Perekonomian akan maju bila didasarkan pada semangat pelayanan dan pengorbanan dalam interaksi dalam masyarakat. Disamping itu juga perekonomian harus didasarkan pada etika. Gandhi juga menginginkan di seluruh wilayah pedesaan di India diterapkan desentralisasi ekonomi. Sistem desentralisasi ekonomi ini sejalan dengan semangat ahimsa dan kesejahteraan untuk semua. Pandangan ini kemudian melahirkan konsep   swasembada, swadeshi dan industri kecil. Dengan adanya industri kecil, salah satu harapan Gandhi adalah terdidiknya kaum buruh sehingga paham akan hak dan kewajibannya.

Dalam pandangan ini, tentu kemiskinan adalah harus dientaskan. Kesejahteraan dapat dicapai dengan menggerakan rakyat untuk melakukan swasembada. Metode yang digunakan Gandhi ini pun mengarah pada pemberdayaan usaha kecil dan menengah yang dapat dikelola oleh masyarakat di pedesaan. Akhirnya sebuah cita-cita kesejahteraan harus dicapai tanpa kekerasan. Tanpa kekerasan pun tidak semata-mata fisik, namun juga perbudakan dan bentuk penjajahan ekonomi lainnya. Mampukah kita?

share yuk: