Kebangkitan yang Belum Bangkit

Sejak reformasi tahun 1998, kondisi bangsa dan negara Indonesia memberikan harapan baru. Masyarakat mulai membuka berbagai kran-kran demokrasi, ekonomi, politik, sosial, budaya dengan bebas tanpa adanya kekangan. Hal ini dapat dimaklumi lantaran rezim sebelumnya tidak memberikan kesempatan untuk melakukan ekspresi dan aktualisasi baik dalam politik, ekonomi maupun budaya.

Upaya reformasi disegala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut tentu saja ada sebuah landasan semangat. Rasa nasionalisme dan kecintaan kepada tanah air tumbuh dari berbagai tantangan baik dari penjajahan maupun dari segi politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya yang terus memberikan tekanan kepada masyarakat.

Dibidang ekonomi tekanan dan nasionalisme itu tumbuh dari berbagai kenyataan bahwa sebagian dan hampir aset ekonomi vital bangsa dikuasai oleh asing. Berbagai upaya penghentian eksploitasi ekonomi asing pun dilakukan. Harus diakui bahwa fenomena ini cenderung mempengaruhi aspek kehidupan lainnya. Misalnya saja kebijakan harga, kebutuhan pangan yang berpengaruh pada budaya masyarakat dan sebagainya.

Apatisme masyarakat yang mengarah pada perubahan budaya juga menjadi semangat dalam penguatan nasionalisme. Reaksi ini bisa kita lihat dari adanya pengakuan-pengakuan oleh negara lainnya akan budaya dan nilai-nilai sejarah bangsa. Adanya kejadian ini juga menyulut berbagai elemen untuk membangkitkan semangat kecintaan kepada budaya Indonesia. Berbagai kalangan siap turun untuk membela Indonesia bahkan menuntut pemerintah untuk bersikap tegas.

Namun apakah semua pembelaan terhadap ke-Indonesia-an itu merupakan wujud nasionalisme? Tantangan ada pada diri bangsa dan negara Indonesia. Nilai-nilai nasionalisme harus juga disadari mulai luntur akibat masyarakat Indonesia itu sendiri. Misalnya saja semangat primordialisme, kesukuan, sektarian justru cenderung menguat dalam lapiran masyarakat. Misalnya saja dalam hiruk pikuk pemilihan kepala daerah. Arus balik nasionalisme mulai tampak dari pendekatan-pendekatan dalam penentuan calon, tim sukses hingga elit politik sering mengeksploitasi sentimen primordialisme tersebut. Fanatisme kelompok semakin mengkristal dan sering kali mengalahkan sentimen kebangsaan.

Eksploitasi semangat kedaerahan maupun sektarian berlebihan dalam rangka power building tentu menjadi ancaman bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia – NKRI. Karena hal itu akan memupuk disintegrasi bangsa dan perpecahan sesama anak bangsa. Semangat toleransi dalam ke-bhinneka-an menuju tunggal ika dalam berbangsa dan bernegara mulai melemah.

Apa yang Membangkitkan?
Apakah ini gejala menurunnya nasionalisme? Lantas apa makna kebangkitan nasional tersebut? Pertanyaan itu mulai muncul dengan fenomena-fenomena yang muncul hari ini. Kebangkitan nasional yang ditandai berdirinya organisasi Boedhi Oetomo pada 20 Mei 1908 menjadi momentum untuk memulai kehidupan berbangsa dan bernegara kala itu.

Nilai kebangkitan nasional itu tentu terkait dengan perjuangan untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan pembangunan bangsa Indonesia. Perjuangan secara holistik diharapkan dapat memperdayakan seluruh potensi untuk mencapai kemerdekaan. Tentu berbicara kebangkitan kita ingin sebuah semangat untuk mencapai masyarakat yang diidam-idamkan (imagined society).

Adanya rasa seperjuangan itu kemudian melandasi nilai nasionalisme tumbuh dalam setiap jiwa masyarakat. Apalagi momentum itu mampu membangkitkan semangat walau sebelumnya sudah ada beberapa organisasi seperti Syarikat Dagang Islam pada tahun 1905. Namun kekuatan semangat dan perjuangan yang membangkitkan segenap komponen belum dilakukan.

Kondisi masa lalu tersebut tentu masih menjiwai semangat kebangkitan hari ini. Berbagai upaya coba dilakukan oleh elit politik dan pemimpin bangsa untuk kembali meneguhkan ruh dari semangat kebangkitan nasional tersebut. Entah hanya untuk sekedar untuk pencitraan dalam rangka pemilihan umum atau memang untuk menemukan kekuatan dari ruh kebangkitan nasional tersebut.

Menemukan Kembali Kebangkitan
Kekuatan untuk membangkitkan semangat itu tentu membutuhkan infrastruktur dan perjuangan yang sama. Kondisi hari ini menandakan perjuangan yang terbesar adalah perjuangan yang bisa dikatakan melawan diri sendiri, bangsa Indonesia. Melawan kekuatan yang meruntuhkan moral dan melemahkan sendi-sendi keanekaragaman. Sebut saja korupsi. Apakah tahun ini bisa dikatakan kebangkitan melawan korupsi? Ada harapan seperti itu pasca dan mulai terungkapnya berbagai tindak korupsi ditubuh eksekutif, legislatif hingga yudikatif di negara kita yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Melihat berbagai runutan peristiwa kebangsaan, rasanya kita belum bangkit. Masih banyak hal-hal yang belum membuat kita bangkit. Kemiskinan, pendidikan, kelaparan dan sebagainya. Rasanya tidak pernah lepas dari sajian media. Kebangkitan ini belum benar-benar dirasakan oleh warga masyarakat.

Hingga sekarang kita belum juga bisa menuntaskan berbagai fenomena yang sangat menyulitkan warga. Sebagai contoh masih adanya ketidakpuasan warga yang ditunjukkan dengan aksi hingga demontrasi dijalanan. Bahkan ke-bhinneka-an pun mulai terusik dengan adanya kelompok-kelompok yang tidak menghendaki perbedaan di Indonesia.

Dari sudut ekonomi, sosial politik menuju ranah agama sering menjadi benturan dalam masyarakat Indonesia. Dulu persatuan yang dikehendaki adalah unity atau kesatuan. Namun sekarang sudah ditafsirkan sempit menjadi uniformity (keseragaman). Ini menunjukan adanya perubahan sosial yang mulai melupakan jati diri masa lalu yang telah membentuk bangsa ini, Bhinneka Tunggal Ika.

Indonesia, dulu, kini dan yang akan datang perlu terus mawas diri menemukan arti kebangkitan itu. Semangat dan revitalisasi nasionalisme ini menjadi penting dalam mengawal proses demokrasi dalam negara hukum dan untuk mencapai keadilan masyarakat Indonesia. Dalam Weda – Atharwa Weda XII.1.46 juga ditegaskan, Bekerjalah untuk tanah air dan bangsamu dengan berbagai cara. Hormatilah cita-cita bangsamu. Ibu Pertiwi sebagai sumber mengalirnya sungai kemakmuran dengan ratusan cabang. Hormatilah tanah airmu seperti kamu memuja Tuhan. Dari jaman abadi Ibu Pertiwi memberikan kehidupan kepadamu semua, karena itu engkau berhutang kepada-Nya. Untuk itu menjadi penting bagi umat Hindu sebagai bagian dari bangsa Indonesia untuk mencintai tanah air-nya sehingga benar-benar menemukan arti kebangkitan itu. Bangkit dari kemiskinan, bangkit dari keterbelakangan.

share yuk:

Pendidikan yang Membebaskan

Harapan dengan penuh keyakinan itu terpancar dari wajah anak berseragam putih merah itu. Wajah polos dengan tas berjalan menelusuri jalanan di pematang sawah. Tak lama serombongan anak-anak dengan seragam yang sama pun mengikuti. Sebuah wajah keceriaan dan keluguan canda membalut perjalanan sepulang dari sekolah.

Tidak ada beban, pun masalah yang dihadapi anak-anak itu. Mereka hanya tahu belajar dan meraih nilai terbaik untuk lulus dan melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Tak terpikir oleh mereka bagaimana sistem pendidikan dan bagaimana kebijakan ujian nasional yang hendak mereka hadapi. Tidak terbayang pula oleh mereka, ke perguruan tinggi mana kelak mereka menuju. Itupun kalau ada biaya untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.

Itulah potret anak didik kita di pedesaan. Masih banyak ketidakjelasan nasib yang harus mereka terima dengan beban sosial yang ada di sekitarnya. Belum lagi fasilitas sekolah hingga gedung sekolah
yang banyak mengalami kerusakan. Tidak itu saja, seperti yang sering kita baca di media, banyak juga anak-anak yang putus sekolah lantaran harus membantu ekonomi orang tuanya.

Elit pemegang kebijakan berlomba dengan retorika anggaran 20 % untuk pendidikan. Begitu juga dengan gaji guru yang masih kecil alokasinya yang sering berujung pada unjuk rasa. Janji-janji 20% APBN-APBD untuk pendidikan sering ’dijual’ untuk mengait simpati masyarakat bahkan hingga pendidikan gratis ketika pemilu atau pilkada.

Sistem pendidikan memang sudah baik pada tataran normatif. Namun sangat tidak baik pada tataran implementatif. Masih tidak seimbangnya tataran regulasi dan tataran pelaksanaan menjadi masalah sehingga output yang dihasilkan pun jauh dari harapan. Padahal globalisasi saat ini mensyaratkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

Kualitas yang diharapkan adalah penguasaan sains serta teknologi terutama yang kini sedang nge-trend yaitu teknologi informasi dan komunikasi. Kualitas itu tentu dibalut bersama kemampuan moral
spritual dan kultural untuk melahirkan peserta didik yang berkarakter.

Kalau kita lihat filosofi pendidikan yang disampaikan Paulo Freire, seorang pendidik multikultural dari Brazil, pendidikan harus mencapai pengenalan realitas. Pendidikan dilakukan untuk mencapai pembebasan beranjak dari kondisi objektif dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Kondisi ini sangatlah jauh bila dilihat dengan sistem pendidikan kita. Potret buram ini berawal dari jauhnya realitas dengan sistem yang diciptakan.

Sebut saja misalnya kondisi ekonomi masyarakat kita yang tinggal di pedesaan dan masih tergolong ekonomi menengah ke bawah tidak menjadi pijakan dalam menentukan s i s t em pendidikan. Sekolah hingga perguruan t inggi menjadi industri yang mementingkan profit. Dampaknya adalah yang berhak mengenyam pendidikan adalah mereka yang memiliki kapital. Sekolah tumbuh menjadi industri kapitalis dan jauh dari misi sosial kemanusiaan.

Bagaimana dengan Hindu?
Pendidikan adalah investasi jangka panjang untuk mencapai output SDM yang berkualitas melalui proses yang menyadarkan (pembebasan). Hal inilah yang harus kita sadari sebagai ketertinggalan yang harus terus dikejar.
Tingkat pendidikan umat Hindu yang masih rendah harus terus diupayakan untuk mencapai kualitas pendidikan. Saatnya umat Hindu fokus pada pembangunan content yaitu SDM dengan berbagai kaderisasi-kaderisasi yang diperoleh melalui pendidikan. Pendidikan menjadi sangat vital dalam pembangunan sumber daya umat yang pada saatnya nanti dapat meningkatkan bidang lainnya
seperti ekonomi, kesehatan dan bidang-bidang lainnya.

Sebagai renungan kita, hasil keputusan Pesamuhan Agung Parisada tahun 2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendidikan dalam latar belakangnya menjelaskan bahwa dari sensus tahun 1980 sampai 2000 umat Hindu memiliki tingkat buta huruf yang tertinggi. Tahun 1980 tingkat buta huruf umat Hindu sebesar 38% kemudian turun menjadi 25% pada tahun 1990. Sedangkan tahun 2000 menjadi 16,9%. Angka itu rupanya masih tertinggi bila dibandingkan dengan umat Islam (11,2%), Protestan (10,2%), Katolik (10,4%). Dan yang paling rendah adalah umat Budha yaitu hanya 6,6%.

Dari realitas itu, sudah seharusnya kini umat Hindu fokus pada pendidikan. Tanpa itu semua, kita hanya menjadi kaum marjinal di tengah pentas persaingan global. Dan dampaknya juga berimbas kepada masyarakat nasional sebagaimana umat Hindu merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Imbas terbelakang tidak hanya dialami oleh umat Hindu tapi juga bangsa dan negara ini. Di sini peran prioritas pendidikan yang harus didukungan oleh segenap elemen umat menjadi penting.

2 Mei adalah hari pendidikan nasional. Semoga momentum ini menjadi renungan kita bersama untuk bangkit dan terbebas dari penindasan seperti yang dicita-citakan Paulo Freire.

share yuk:

Menarik Investor Melalui E-Govenment

Lampung sebagai gerbang Sumatera memiliki potensi pembangunan yang luar biasa. Baik dari segi ekonomi, wisata, budaya dan keanekaragaman sumber daya lainnya. Daerah ini berpotensi besar untuk mengembangkan potensi masyarakat dengan lalu lintas yang padat. Potensi ini didukung dengan dekatnya daerah ini menuju ibu kota negara sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis. Lampung bisa menjadi daerah potensi untuk mengembangkan investasi bagi investor.

Untuk mencapainya tentu membutuhkan sarana promosi dan pembangunan yang benar-benar menyentuh masyarakat. Kebijakan pembangunan pun harus diarahkan pada pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan warga. Sebagaimana disampaikan Sjachroedin ZP, Gubernur Lampung bahwa tiga tahun lalu Lampung disebut-sebut sebagai provinsi termiskin ke-3 secara nasional namun selama dua tahun kepemimpinannya Lampung berhasil menempatkan Lampung pada urutan ke-8 (Rakyat Merdeka, 17/3).

Peningkatan ini memang terus harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah lainnya. Pemberdayaan perekonomian dengan menarik investor adalah salah satu cara yang bisa dilakukan daerah untuk meningkatkan perekonomian warga. Disatu sisi daya tarik bagi investor adalah keamanan daerah dan kebijakan pemerintah yang pro investasi.

Keamanan menjadi penting karena investor mempertimbangkan kelangsungan infrastruktur investasi yang akan dilakukan. Sedangkan kebijakan pemerintah yang pro investasi sangat penting sebagai pelayanan kepada investor. Kebijakan untuk memberikan kemudahan bagi proses birokrasi investasi menjadi daya tarik tersendiri bagi investor. Tidak ada praktik-praktik kolusi dan pencaloan dalam birokrasi adalah harapan bagi investor.

Dalam hal ini pelayanan publik di Lampung menjadi penting dan perhatian dari pemimpinnya. Layanan yang berkualitas menjadi pencitraan bagi pendatang maupun calon investor untuk menjalankan roda bisnis di tanah sang bumi ruwa jurai ini. Beberapa kendala yang sering ditemui dalam pelayanan publik seperti kurang informatif. Informasi lambat dan sering tidak ter-distribusi dengan baik sehingga sering tidak adanya responsif dalam pelayanan.

Selain itu, pelayanan publik terlalu birokratis yang menyebabkan lamanya proses penyelesaian. Bahkan sering tidak mendapat layanan yang baik. Bak iklan kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah. Berbagai masalah itu menyebabkan ketidak-efisienan dalam pelayanan kepada publik sebagai pencitraan pemerintahan.

E-Government
Electronic government atau e-government merupakan penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis elektronik untuk meningkatkan kualitas layanan publik. Pelaksanaan e-government ini akan mendukung proses kinerja antara pemerintah kepada pemerintah (G2G), pemerintah kepada bisnis (G2B), dan pemerintah kepada masyarakat (G2C).
Hubungan antara pemerintah untuk mempermudah dan mempercepat proses komunikasi dan koordinasi antar lembaga maupun satuan kerja perangkat daerah. Hubungan pemerintah kepada bisnis dapat berupa layanan satu atap untuk mengurus perizinan, layanan komunikasi dan sebagainya. Begitu juga kepada masyarakat dapat berupa layanan sosial, pendidikan, lingkungan, budaya dan sebagainya.
Adanya pembangunan e-government tersebut merupakan daya tarik tersendiri untuk menarik investor dan promosi daerah. Hal ini dimungkinkan dengan adanya dorongan pemerintah untuk mulai menggalakkan pembangunan e-government dengan adanya Inpres No. 3/2003 tentang kebijakan dan strategi pengembangan eGovernment. Kebijakan itu tentu mendorong pelaksanaan e-government di indonesia untuk menciptakan good governance.
Pembangunan e-government tidak hanya pembangunan website saja. Website hanya sebuah media untuk meningkatkan komunikasi kepada masyarakat melalui berbagai layanan yang ada pada pemerintahan. Pengoptimalan website www.lampung.go.id maupun website pendukung lainnya seperti www.visitlampung.com menjadi sangat penting.
Pengoptimalan website tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi investor sebagai media informasi investasi. Selain itu, website menjadi informasi pencitraan kinerja pemerintahan. Kalau kita klik kedua situs tersebut, sangat minim dengan informasi terkini sebagai sumber informasi pemerintahan di Lampung.
Untuk mulai membangunnya memang membutuhkan kepemimpinan/ e-leadership yang memiliki visi dan misi untuk melaksanakan e-government ini. Kepemimpinan menjadi pemacu bagi pembangunan sumber daya dan bisnis proses yang ada didalamnya. Sedangkan teknologi akan menjadi tool untuk mencapai visi misi dari pemimpin dalam pelaksanan e-government tersebut. Dengan usianya yang telah mencapai 44 tahun ini, Lampung sudah selayaknya memperhatikan pembangunan digital untuk mendorong kesejahteraan masyarakat. Alokasi anggaran selayaknya disiapkan untuk pembangunan e-government mengingat perkembangan daerah lain sudah sangat jauh dengan berbagai layanan yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Selamat ulang tahun Lampung…

share yuk:

Hari Penuh Lelah…

Lama tidak nge-blog, malam hari menjelang pagi ini terbias pikiran untuk menuangkannya. Entah apa yang mau ditulis tapi sempat melihat-lihat ebook atau kurang lebih kumpulan buku elektronik. Tidak sengaja saya menemukan kumpulan ebook tentang kepemimpinan. Membaca dan merenungkan betapa harus bijaknya menjadi pemimpin.

Setiap orang adalah pemimpin. Saya adalah pemimpin dan Anda adalah pemimpin. Semua adalah pemimpin pada ruang dan waktu yang berbeda. Dalam kesendirian tentu kita berusaha untuk memimpin diri sendiri, mengatur agenda dengan beragama aktivitas. Mengatur agar semuanya berjalan baik sesuai dengan rencana dan mencapai hasil yang memuaskan dan terukur.

Merencanakan memang mudah. Mewacanakan memang mudah. Namun tidak dengan mengerjakannya. Banyak tantangan yang harus kita lalui dan pasti sering kita temui. Sering juga kebaikan hari ini harus dilupakan esok harinya. Namun demikian sebaiknya memang kita tetap harus berbuat baik.

Menurut Stephen R. Covey, penulis buku terkenal, Seven Habits of Highly Effective People, ia menjelaskan dalam buku Principle Centered Leadership bahwa keberhasilan itu harus didukung dengan sebuah keyakinan yang berprinsip. Ada beberapa yang ia sampaikan sebagai ciri dari pemimpin yang memiliki prinsip.

Beberapa prinsip tersebut adalah:
1. Mereka terus belajar
2. Mereka berorientasi pada pelayanan
3. Mereka memancarkan energi positif
4. Mereka mempercayai orang lain
5. Mereka hidup seimbang
6. Mereka melihat hidup sebagai sebuah petualangan
7. Mereka sinergistik
8. Mereka berlatih untuk memperbarui diri

Setidaknya itulah yang harus dilakukan untuk mencapai kepemimpinan yang berprinsip. Lantas sejauh ini, sudah dimana kepemimpinan diri kita. Sudah seperti itukah? Atau kita masih jauh dan hanyut dalam lamunan yang membuat Hari penuh lelah…hhhmmm

share yuk:

GALUNGAN, KUNINGAN DAN SEMANGAT KEBANGSAAN

Galungan dan kuningan adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan 210 hari (enam bulan) sekali. Hari raya Galungan dirayakan beberapa hari lalu tepatnya pada hari Rabu tanggal 03 Mei 2006. Sedangkan Hari Raya Kuningan dirayakan sepuluh hari setelah perayaan Galungan tepatnya pada hari Sabtu tanggal 13 Mei 2006.

Galungan adalah salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad (sifat kedewaan) untuk menegakkan dharma melawan adharma. Hakekat Galungan adalah merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Pun demikian dengan Hari raya Kuningan yang merupakan resepsi bagi hari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma. Hari raya yang merupakan rentetan dari Galungan ini bertujuan untuk memohon kesentosaan, dan perlindungan serta tuntunan lahir dan batin. Dalam tulisan ini penulis tidak membahas makna filosofis dari hari raya tersebut, tapi mencoba mengaitkannya dengan kondisi dan realitas yang ada.

Implementasi dalam Kehidupan

Kemenangan merupakan sebuah kebanggaan atas segala usaha yang telah dilakukan terhadap lawan, entah itu bersifat kebaikan (dharma) maupun keburukan/kejahatan (adharma). Bahkan untuk memenangkan suatu pertempuran, seorang prajurit ataupun relawan rela untuk menaruhkan nyawanya untuk membela maupun mempertahankan hak-haknya. Setelah berhasil memenangkan pertempuran maka sebuah rasa syukur-pun dirayakan dengan pelbagai cara. Sebuah ‘pertempuran’ yang dapat kita maknai secara filosofis dapat juga terjadi dalam diri antara pergulatan hati yang penuh dengan dualisme baik-buruk, sedih-bahagia, suka-duka dan sebagainya. Dengan demikian kemenangan yang dimaksud adalah kemenangan untuk mengalahkan sifat-sifat adharma.

Sebagai insan beragama dengan etika dan susila sesuai ajaran agama, tentu tidak terlepas dari pertempuran dan pergulatan untuk senantiasa mengalahkan sifat-sifat adharma (keburukan/kejahatan). Pertempuran didalam hati hampir setiap hari terjadi pada diri, bila tidak diatasi dengan baik menyebabkan pertempuran di luar diri terjadi. Pergulatan didalam hati ini memang bersifat abstrak, bahkan berpotensi menimbulkan stres maupun efek negatif lainnya.

Sri Swami Sivananda dalam bukunya All About Hinduism yang telah diterjemahkan oleh Yayasan Sanatana Dharmasrama dengan judul Intisari Ajaran Hindu menjelaskan bahwa Dharma secara umum adalah kebajikan atau kewajiban. Dharma merupakan prinsip-prinsip dari kebajikan dan juga kesatuan. Bhisma berkata dalam perintah-perintahnya kepada Yudhisthira, bahwa apapun yang menimbulkan pertentangan adalah adharma, dan apapun yang menyudahi pertentangan dan membawa pada kesatuan dan keselarasan adalah dharma. Apapun yang membantu untuk menyatukan segalanya dan mengembangkan cinta kasih Tuhan dan persaudaraan universal, adalah dharma. Apapun yang menimbulkan perselisihan, keretakan dan ketidakselaran dan menimbulkan kebencian adalah adharma.

Kehidupan dengan dinamika dan permasalahan yang terjadi sering menciptakan pergulatan hati. Permasalahan diri hingga pada permasalahan bangsa dan negara sering kali menguras pikiran dan tenaga. Semangat untuk mengobarkan bara memenangkan kebajikan (dharma) senantiasa mengalami fluktuasi untuk tetap ajeg pada jalan dharma.

Semangat kemenangan dan ajaran-ajaran suci dharma hendaknya ditanamkan dalam diri dan kemudian melangkah pada semangat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dharma agama dan dharma Negara pun diimplementasikan dengan tepat dan pada tempatnya. Dengan demikian kemenangan dharma tidak hanya sebatas wacana maupun kata-kata yang tidak diimplementasikan secara nyata.

Pertentangan antara dharma melawan adharma maupun sebaliknya kebatilan berusaha menguasai kebajikan dalam kehidupan masyarakat kerap terjadi. Sudah saatnya kita tidak terbelenggu oleh sempitnya pemikiran dan tidak menghargai perbedaan. Saatnya kita bertempur untuk memerangi keterbelakangan dalam pendidikan, kemiskinan, kesehatan, lemahnya supremasi hukum dan lain sebagainya. Bila ini tercapai dengan baik inilah kemenangan kita sebagai warga negara maupun sebagai umat beragama. Pun jika ini belum tercapai – karena menurut penulis kita masih tertinggal dalam pendidikan, kemiskinan dan seabrek masalah lainnya, berarti saat ini kita sedang bertempur mengentaskan keterbelakangan tersebut.

Semangat Kebangsaan

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, masyarakat Hindu memiliki kewajiban dan hak-hak yang sama dengan yang lainnya. Kewajiban untuk turut serta membangun bangsa dan negara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Begitu juga sebaliknya memiliki hak-hak sebagai masyarakat dan umat beragama.

Hari raya Galungan dan Kuningan bagi umat Hindu yang juga bertepatan dengan Hari raya Waisak bagi umat Budha adalah momen intropeksi diri bahwa kemenangan tidak hanya ada dalam diri tapi kemenangan adalah majunya suatu negara dan bangsa sebagai pengayom masyarakat. Dan semangat kemenangan dharma ini senantiasa dikobarkan untuk memperkuat semangat kebangsaan kita sebagai warga Negara.

Sebagai warga Negara tentu kita mengharap adanya kemajuan bagi pertumbuhan demokrasi, keadilan, dan solidaritas. Dalam konteks pemikiran KMHDI dijelaskan nilai-nilai fundamental yang ada pada individu-individu bahwa dalam sebuah masyarakat, nilai kebebasan individu akan berubah menjadi kebebasan kolektif, keadilan akan menjadi nilai keadilan kolektif sedangkan nilai solidaritas yang telah bermakna kolektif, meluas dari solidaritas dengan derajat yang sempit, ke derajat yang lebih luas.

Hal ini hanya dapat diterapkan dalam suatu masyarakat yang setiap individunya menyadari bahwa dirinya berada dalam posisi yang sederajat, tidak ada hak-hak khusus yang akan menempatkan individu atau sekelompok masyarakat berada diatas individu atau kelompok masyarakat yang lain. Ketika kita berbicara negara maka nilai kebebasan kolektif disebut dengan demokrasi, nilai keadilan kolektif tertuang dalam bentuk hukum yang mengikat seluruh warga negara. Sedangkan nilai solidaritas, dalam sebuah negara akan menjadi pengikat dari kesatuan suatu negara.

Semangat kebangsaan untuk turut membangun negara tidak hanya tugas para birokrat dan pejabat, namun adalah tugas kita sebagai warga masyarakat yang hidup dengan penuh keanekaragaman. Semangat bhinneka tunggal ika hendaknya melandasi setiap pemikiran dan perbuatan kita dalam membangun bangsa. Hubungan yang harmonis dan selaras antara sesama, antara alam sekitar dan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dalam ajaran Hindu dikenal dengan Tri Hita Karana senantiasa diwujudkan dalam mencapai kedamaian.

Lalu semangat kemenangan yang ada akankah hanya sebatas kata-kata romantis belaka ? Pilar-pilar kemenangan individu dalam mengalahkan adharma hendaknya selalu mewarnai semangat kebangsaan kita sebagai warga Negara Indonesia dalam berdemokrasi, menegakan hukum, dan meningkatkan solidaritas sesuai semboyan negara kita bhinneka tunggal ika. Hari kemenangan dharma akan selalu menanti sebuah jawaban atas apa yang telah kita perbuat untuk agama dan Negara. Semoga Hyang Widhi merestui karma yoga ini…damai dihati..dunia selamanya…

Oleh :
Wayan Sudane
Presidium PP KMHDI 2006 – 2008
Tulisan telah dimuat di Lampung Post

share yuk: