Kaktus Inspirasi dari Ladang Dingin Tiongkok

Di dataran Heilongjiang yang luas, di mana musim dingin yang menggigit adalah bagian dari lanskap, sebuah kebun kaktus berdiri teguh, menjadi simbol inspirasi dan inovasi. Kebun milik Changqingshu ini, terletak di Daqing, Provinsi Heilongjiang, di ujung utara Tiongkok. Kebun ini telah mengubah persepsi tentang kaktus—tanaman yang biasa diasosiasikan dengan padang pasir, ataupun tanaman hias, disana kaktus menunjukkan bahwa adaptasi adalah kunci bertahan hidup.

Di balik rumah kaca biru-hijau yang mencolok, ribuan kaktus jenis Nopal tumbuh subur di bawah kendali suhu dan kelembapan yang presisi. Direktur Utama Changqingshu, Wang Jiayan, menyebut kaktus ini sebagai “sayuran panjang umur.” “Kaktus bukan hanya sekadar tanaman, tetapi sebuah filosofi hidup. Manfaatnya bagi kesehatan, dari menurunkan gula darah hingga menekan kolesterol,” jelasnya. Continue reading Kaktus Inspirasi dari Ladang Dingin Tiongkok

share yuk:

Beralihnya Daulat Rakyat ke Daulat Parpol

Pasca-diputuskan melalui voting pada Jumat (26/9) dini hari, UU Pilkada menuai kritik cukup keras dari rakyat yang dituangkan melalui berbagai aksi dan media sosial. Tagar #ShameOnYouSBY, #ShamedByYou, dan #ShamedByYouAgainSBY secara bergilir menjadi trending topic di twitter.

Dalam voting 135 anggota DPR memilih pilkada langsung dan 226 anggota memilih pilkada melalui DPRD/ Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan 124 anggota DPR yang merupakan fraksi Demokrat memilih sikap walk out dari sidang paripurna dan menyisakan 6 anggota yang tetap memilih pilkada langsung.

Kini, bola panas justru berada di Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga merupakan ketua umum Partai Demokrat. Hal ini disebabkan adanya manuver dari Partai Demokrat yang menjadi king maker dalam hitungan matematis keputusan UU Pilkada tersebut. Sebelumnya, SBY dalam kapasitasnya sebagai ketua umum Partai Demokrat menyampaikan dukungannya terhadap pilkada langsung. Bila hal ini sesuai dengan arahan SBY tersebut, sudah pasti keputusan paripurna adalah pemilihan langsung.

Tuntutan terhadap komitmen dan kekecewaan SBY pasca putusan sidang paripurna yang menetapkan pilkada melalui DPRD pun terus mengalir. Sebagai konsistensi ucapan, SBY diminta untuk tidak menandatangani UU Pilkada tersebut meski setelah 30 hari undang-undang tetap berlaku tanpa tanda tangan presiden. Bahkan SBY pun diminta untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk membatalkan UU Pilkada tersebut.

Blunder yang dilakukan SBY dan Partai Demokrat tak lepas dari komunikasi politik pasca pemilihan presiden yang diikuti oleh dua kubu yaitu Joko Widodo – Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto – Hatta Radjasa (Koalisi Merah Putih). Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden lalu, SBY dan Partai Demokrat cenderung tak menampakan posisi yang jelas. Demikian juga dari kubu Jokowi – JK, komunikasi politik lebih banyak dilakukan oleh Jokowi dibandingkan dengan ketua umum PDIP Megawati Soekarno Putri. Komunikasi politik antara SBY dan Megawati Soekarno Putri bisa dikatakan tidak ada.

Begitu juga dengan draft awal RUU Pilkada yang diusulkan pemerintah. Sikap SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat pun bertolak belakang dengan usulan awal pemerintah yang mengajukan pilkada melalui DPRD mengingat SBY juga sebagai kepala pemerintahan (presiden).

Warisan Buruk Pemerintahan SBY

Kembalinya sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD tentu saja menegasikan buah dari reformasi yang telah berlangsung lebih dari satu dasa warsa. Rakyat kini mulai aktif dalam partisipasi politik dalam pemilihan kepala daerah bahkan puncaknya dalam pemilihan presiden dan wakil presiden lalu. Sistem yang dipilih oleh rezim hari ini merupakan wujud penghianatan terhadap partisipasi dan aspirasi rakyat untuk menentukan pemimpinnya.

Warisan buruk di akhir pemerintahan SBY melahirkan kekuatan partai politik model baru dengan mengabaikan partisipasi politik warga negara. Keseimbangan fungsi eksekutif (gubernur, bupati/ walikota) dan legislatif (DPRD) sulit dicapai ketika eksekutif dipilih oleh legislatif (DPRD). Sebaliknya, eksekutif akan tunduk pada kebijakan-kebijakan legislatif alias potensi kolusi kebijakan antara eksekutif dan legislatif terbuka lebar. Sementara rakyat hanya menjadi penonton tanpa bisa banyak berbuat dan menuntut kepada eksekutif. Posisi lemah eksekutif tersebut sebagai wujud balas budi terhadap keterpilihannya oleh legislatif.

Pola keseimbangan terjadi, bila eksekutif dan legislatif sama-sama dipilih oleh rakyat sehingga baik eksekutif maupun legislatif benar-benar bertanggungjawab dan mendengarkan rakyat. Disinilah substansi dari pemilihan langsung. Rakyat menjadi subjek sekaligus objek dalam pembangunan daerah. Rakyat menemukan substansi dari kehidupan demokrasi dengan semakin banyak lahirnya pemimpin-pemimpin berkualitas dari dan oleh rakyat. Pemimpin yang lahir karena pengabdian dan kerja nyata kepada rakyat yang kemudian memvisual kepada sosok/ figur bukan pada kekuatan partai politik.

Dengan disahkanya UU Pilkada, partai politik kembali menemukan ‘kekuatannya’ untuk melahirkan kekuasaan. Partai politik memegang kedaulatan untuk merumuskan kekuasaan dalam menentukan pemimpin daerah. Bahkan sangat mungkin, politik uang yang selama ini dijadikan alasan dalam kelemahan pilkada langsung tak dapat dihilangkan. Sebaliknya, peluang untuk penyalahgunaan kewenangan dan politik transaksional dalam pemilihan melalui DPRD tetap terbuka lebar. Inilah warisan terakhir masa pemerintahan SBY yang melukai hati rakyat.

Pemimpin Lahir dari Rakyat

Selama satu dasa warsa terakhir, bangsa Indonesia banyak melahirkan pemimpin-pemimpin dari rakyat. Bahkan Joko Widodo presiden terpilih pada pemilu 2014 merupakan sosok rakyat yang mengawali karir politiknya melalui walikota Solo. Selain itu banyak individu-individu luar biasa yang berasal dari rakyat biasa menjadi pemimpin harapan rakyat, bekerja dan memperjuangkan kehendak rakyat.

Melalui pemilihan langsung, rakyat diajak secara aktif untuk menentukan pemimpin daerah melalui partisipasi pemilih, proses pembangunan, hingga wujud pertanggungjawaban. Memang tidak dapat dipungkiri, pada awal pelaksanaannya, rakyat sempat apatis kendati trauma terhadap orde baru. Dan kini ketika rakyat sedang menemukan substasi dari demokrasi, justru tatanan tersebut dirusak oleh sekelompok wakil rakyat yang notabene dipilih oleh rakyat juga.

Kedaulatan rakyat kini beralih menjadi kedaulatan partai politik dimana penentuan pemimpin daerah ‘bisa diatur’ dari Jakarta oleh tokoh-tokoh sentral partai politik. Dan tak dapat dipungkiri pula, peluang transaksional kembali bersemi dalam tatanan pemilihan kepala daerah di tingkat DPRD. Pemimpin lahir dari partai politik, bukan dari rakyat.

Berharap adanya reformasi partai politik saat ini tentu saja sesuatu yang mustahil. Kekuasaan telah merubah pola pikir substansi kehadiran partai politik yang antara lain sebagai pendidikan politik, dan rekruitmen dan kaderisasi pemimpin publik. Dapat dilihat saat ini, partai politik hanya menjadi sarana dalam melanggengkan kekuasaan untuk mencapai pundi-pundi keuangan. Partai politik menjadi jembatan terjadinya ‘perselingkuhan’ antara penguasa dan pengusaha.

Kekuasaan partai politik kian menemukan jalannya. Realitas inilah yang kemudian menjauhkan rakyat dengan pemerintah yang sejatinya sebagai tumpuan untuk saling berinteraksi mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Alih-alih memberikan pelayanan optimal, pemimpin pilihan DPRD tentu akan mengutamakan kepentingan wakil rakyat daripada rakyat.

Namun demikian, sebagai bangsa yang besar, segala perdebatan konstitusional harus diselesaikan juga dengan cara-cara yang konstitusional. Saatnya untuk melakukan uji terhadap UU Pilkada tersebut, dan atau mendorong kepemimpinan Jokowi – JK untuk melakukan revisi yang tentu saja membutuhkan komunikasi politik yang baik pada tingkat parlemen dan partai politik. Bahkan, kepempinan Jokowi – JK dapat pula menerbitkan Perpu untuk membatalkan UU Pilkada tersebut. Mari kita jaga optimisme rakyat dalam partisipasi demokrasi untuk terus memperjuangkan hak-hak rakyat yang sedang direbut kedaulatannya. ***
http://www.teraslampung.com/2014/09/beralihnya-daulat-rakyat-ke-daulat.html

share yuk:

Dirgahayu 69 tahun Republik Indonesia

17 Agustus 2014, bangsa Indonesia genap berusia 69 tahun sejak proklamasi pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno – Hatta. Momentum kemerdekaan ini merupakan jembatan emas bagi generasi bangsa untuk melakukan pembangunan bangsa di segala sektor kehidupan. 69 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia adalah suatu kebanggaan bagi generasi hari ini, untuk merajut kemerdekaan sesungguhnya bagi bangsa ini.

Ya, kemerdekaan sesungguhnya. Merdeka dari kemiskinan dan ketertinggalan. Kendati Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengklaim berhasil menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Selama lima tahun terakhir sejak 2009, jumlah penduduk miskin Indonesia berkurang 4,25 juta, dari 32,53 juta atau 14,15 persen penduduk menjadi 28,28 juta penduduk atau 11,25 persen.

Namun demikian, tetap saja kemiskinan masih ‘menghantui’ pembangunan. Artinya kemerdekaan belum memberikan akses terhadap pembangunan bagi seluruh masyarakat. Pemerataan pembangunan oleh pemerintah belum mampu mendorong daya saing masyarakat khususnya pada tiga sektor utama seperti pendidikan, akses kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan infrastruktur.

Inilah tantangan kita pada usia 69 tahun Republik Indonesia. Kita masih terus berjuang untuk mencapai pemerataan kesejahteraan masyarakat. Terlebih Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada Desember 2015 mendatang. Perlu upaya kita bersama untuk meningkatkan daya saing tidak saja di Indonesia tapi juga di kawasan regional baik ekonomi, budaya, dan keamanan.

Kemerdekaan yang telah kita lalui 69 tahun tentu saja jembatan emas. Dan hari ini kita telah melalui jembatan tersebut untuk mengisinya dengan berbagai pembangunan sumber daya dengan potensi yang kita miliki. Dirgahayu 69 tahun Republik Indonesia…
[WS, 17/8/2014]

share yuk:

Demokrasi yang Bermartabat

Pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada 9 Juli 2014 merupakan momentum untuk menentukan arah bangsa Indonesia, minimal dalam lima tahun ke depan. Momentum ini merupakan wujud dari proses demokrasi yang berlangsung pasca reformasi yang bergulir sejak 1998. Kita berharap kepada presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh warga mampu membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik lagi.

Dalam pemilu presiden dan wakil presiden 2014 ini terdapat dua kubu atau dua pasangan calon yaitu nomor urut satu pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa, dan pasangan nomor urut dua Joko Widodo – Jusuf Kalla. Masing-masing kubu sama-sama membangun basis kekuatan baik melalui tawaran visi misi dan program, maupun penggalangan massa secara tradisional.

Pada tataran normatif, program -program masing calon cukup berimbang sebagai janji dalam menarik para calon pemilih. Namun demikian, pada tataran realisasi, berbagai janji program yang terdapat dalam visi misi para calon masih perlu waktu untuk melihatnya. Kita dapat melihat berbagai rekam jejak masing-masing pasangan yang telah bekerja cukup lama untuk bangsa ini.

Misalnya saja para calon wakil presiden, Hatta Rajasa sebagai menteri koordinator perekonomian dan menteri beberapa kali dalam kabinet di Indonesia. Begitu juga Jusuf Kalla yang telah melalui berbagai kabinet baik menteri sampai dengan wakil presiden para masa pemerintahan SBY 2004 – 2009. Tak kalah juga dengan para calon presidennya. Baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo sama-sama mengklaim telah bekerja untuk masyarakat dan bangsa Indonesia.

Sekarang, pilihan diserahkan kepada para warga sebagai pemegang suara yang menentukan masa depan bangsa untuk memilih pemimpinnya. Satu komitmen warga negara yang harus dipegang adalah kebijaksanaan untuk menerima hasil dari pesta demokrasi ini. Mengingat hanya terdapat dua pasang calon, persaingan cukup ‘keras’ dan head to head, kita sebagai warga dalam negara demokrasi harus berkomitmen menjaga proses demokrasi ini secara legowo.
Ya, legowo. Kubu yang memperoleh suara lebih banyak untuk tetap menghargai kubu ‘lawan’. Sebaliknya kubu yang belum beruntung untuk menghormati pilihan warga. Karena esensi dari demokrasi adalah kebersamaan dan persaudaraan sesama warga negara bangsa Indonesia.

Mari kita wujudkan demokrasi yang bermartabat untuk Indonesia… selamat memilih !
[ws, 1 Juli 2014]

share yuk:

ISO 26000

Perkembangan bisnis kian mengalami pertumbuhan seiring dengan perdagangan antar negara. Adanya interaksi antara negara tersebut juga mendorong suatu produk memiliki standar sehingga dapat memberikan kepuasan kepada konsumen. Tidak itu saja, tuntutan internal perusahaan maupun lingkungan juga kian masif mendorong perusahaan untuk terus meningkatkan tanggung jawab sosialnya.

Untuk itu, pada tahun 2004 International Organization for Standardization (ISO) mempublikasikan ISO 26000 yang merupakan panduan standar internasional tentang tanggung jawab sosial dibawah ISO. ISO didirikan pada tahun 1947 sebagai pengembang dari standar internasional dan telah memiliki anggota 156 badan standar di beberapa negara.

Proses pengembangan ISO 26000 dilakukan pada tahun 2005 yang difasilitasi oleh ISO/TMB/WG SR yang terdiri dari 300 ahli dari 54 negara anggota ISO dan 33 organisasi yang mewakili enam kelompok pemangku kepentingan yaitu industri, pemerintah, konsumen, tenaga kerja, NGO, dan jasa lainnya.

ISO memegang peranan penting dalam ekonomi global untuk memfasilitasi praktek manajemen yang baik. Begitu juga dengan ISO 26000 akan memiliki pengaruh penting dalam pedoman tanggung jawab sosial ke depannya. Untuk itu penting bagi perusahaan mengembangkan konsep ISO 26000 pada implementasi dan desain program corporate social responsibility (CSR).

share yuk:

30 tahun Peradah; Bekerja dalam Kebenaran

WAYAN Sudane | Peradah Indonesia lahir pada 11 Maret 1984 di Yogyakarta sebagai wujud representasi cita-cita generasi muda Hindu yang idealis, kritis dan progresif. Peradah Indonesia lahir sebagai pemersatu bagi generasi muda Hindu dengan berbagai latar belakang budaya yang dimiliki oleh masing-masing anggotanya.

Keaneka-ragaman latar belakang inilah yang menjadi spirit. Peradah Indonesia meyakini bahwa perbedaan itu suatu kekayaan bagi organisasi, masyarakat, dan bangsa. Ya, Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa akhirnya menjadi moto kami, Peradah Indonesia.

Hari ini, 11 Maret 2014 Peradah Indonesia genap berusia 30 tahun. Usia yang cukup matang bagi pondasi organisasi untuk terus berkiprah bagi pengembangan potensi generasi muda Hindu di Indonesia. Peradah Indonesia dengan tingkatan organisasi mencapai kecamatan dan desa (komisariat) sudah tentu memiliki kiprah bagi pengembangan sumber daya manusia. Selain itu, Peradah juga aktif dalam menjaga nasionalisme sebagai wujud dharma negara.

Dalam rentang perjalanan 30 tahun, Peradah melakukan berbagai kegiatan dalam lingkup kepemudaan dan kebangsaan. Dalam lingkup kepemudaan, Peradah terus menjaga komitmen sebagai kawah candradimuka bagi pemuda Hindu di Indonesia dalam melahirkan pemimpin-pemimpin kedepan.

Sedangkan dalam lingkup kebangsaan, Peradah aktif dalam berbagai kegiatan bersama-sama elemen bangsa maupun organisasi lintas agama. Peradah berkomitmen membangun generasi muda Hindu yang mandiri dan demokratis untuk aktif membangun bangsa Indonesia.

Dari perjalanan 30 tahun Peradah Indonesia, kiprah dibidang kepemimpinan untuk terus menciptakan para kader-kader telah banyak dilakukan. Selanjutnya Peradah fokus pada pengembangan kewirausahaan pemuda. Ya, Peradah sebagai organisasi pemuda kini memfokuskan diri pada pengembangan kepemimpinan dan kewirausahaan.
Dirgahayu 30 tahun Peradah Indonesia…

share yuk:

Keberagaman Budaya Bangsa

Pada tanggal 10 Januari 2014 lalu kami dari DPN Peradah hadir ke Medan, Sumatera Utara. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin dari DPN untuk koordinasi dalam rangka mewujudkan gerakan Peradah yang semakin progresif. Pada hari Jumat (10/1) kami berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta bersama DPP Peradah Sumatera Utara. Kunjungan ini bukan untuk menjenguk seseorang yang sedang ‘sekolah’ di LP namun untuk melihat inisiatif positif dari pihak LP yang mendukung pembangunan tempat ibadah bagi warga Hindu.

Memang di lingkungan LP terdapat tempat ibadah sebagai sarana peningkatan karakter dan pembinaan keagamaan para warga binaan. Di LP Tanjung Gusta sudah memiliki Masjid, Gereja, dan Wihara. Dan atas inisiatif Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Peradah Sumatera Utara, kini sedang dibangun Kuil di Lapas Kelas I Tanjung Gusta, Medan mengingat warga binaan khususnya yang Hindu belum tersentuh untuk penguatan keimanannya. Nah, melalui Kuil ini diharapkan warga binaan dapat belajar dan memperkuat keimanannya.

Selanjutnya, kami berjumpa dengan rekan-rekan Dewan Pimpinan Kabupaten (DPK) Deli Serdang yang dilanjutkan ke Kuil Shri Raja Rajeshwari Amman Kovil. Kuil ini terletak sekitar 35 Km dari Kota Medan, tepatnya di Desa Padang Cermin, Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat. Kuil ini memiliki patung Dewa Murugan setinggi 55 kaki atau sekitar 17 meter menjulang ke langit di sisi kiri kuil.

Pada esok harinya Sabtu (11/1) kami berada di Kuil Shri Mariamman untuk mengadakan acara pelantikan Pengurus DPK Peradah Medan. Kuil ini merupakan Kuil Hindu tertua di Kota Medan yang dibangun tahun 1881 untuk memuja Dewi Shri Mariamman.

Perjalanan selama di Sumatera Utara memang kian memperkuat ke-bhinnekaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan umat Hindu. Ragam budaya dan adat istiadat umat Hindu di Sumatera Utara khususnya bagi warga India tentu saja berbeda dengan umat Hindu di Bali.

Akhirnya, keberagaman merupakan budaya yang terus memperkaya kita, bangsa Indonesia.

share yuk:

Pemda dan CSR

Perkembangan tanggung jawab sosial (social responsibility) sepenuhnya terkait dengan kewajiban entitas bisnis kepada masyarakat. Tanggung jawab ini kemudian menyatu dalam tanggung jawab ekonomi, hukum, etika dan  kebijakan (Carroll, 1979).

Kendati demikian, di Indonesia pelaksanaan CSR sering melalui ‘CSR broker’ berupa yayasan, badan-badan yang dibentuk oleh masyarakat baik berupa ormas, maupun institusi keagamaan. Bahkan, pemerintah daerah (pemda) pun tak mau tertinggal untuk turut menjadi penyalur CSR kepada masyarakat.

Keterlibatan pemda ini dapat dilihat dari banyaknya regulasi yang mengatur penyaluran CSR berupa peraturan daerah (perda). Terbitnya perda-perda CSR di daerah tentu menguntungkan pemda karena ada unsur ‘memaksa’ perusahaan-perusahaan untuk menyalurkan CSR kepada pemda atau minimal perusahaan tak dapat mengelak untuk menyalurkan CSR kepada masyarakat.

Terlepas dari praktek yang terjadi di Indonesia tersebut, CSR sesungguhnya bersifat sukarela atas kesadaran perusahaan sebagai wujud tanggung jawab perusahaan terhadap keberlangsungan usahanya. Jadi sesungguhnya, ketika perusahaan berniat untuk menjaga keberlangsungan usaha, maka perusahaan wajib menyalurkan CSR dengan kesadaran dan kesukarelaan tanpa adanya regulasi yang mengaturnya.

Pelaksanaan CSR di Indonesia harus disadari sebagai sebuah proses. Dari sisi perusahaan, tak sepenuhnya perusahaan memiliki kesadaran dan kesukarelaan untuk menyalurkannya tanpa adanya paksaan melalui regulasi. Sebalikya dari sisi pemerintah, menjadikan CSR semacam sumbangan wajib karena melihat adanya dana yang cukup besar untuk dapat dikelola dalam pembangunan daerah.

Fenomena CSR seperti inilah yang terjadi saat ini di Indonesia. Peran aktif masyarakat, dan pemerhati CSR diperlukan untuk menjaga transparansi pelaksanaan CSR tersebut.

 

share yuk: