”Adakah yang Memelihara Pohon itu?”

ADA sebuah kegelisahan yang dilontarkan oleh salah satu tokoh yang dituakan malam itu. Ia melihat tidak adanya generasi-generasi yang meneruskan kepemimpinannya. Ada sebuah kecenderungan anak muda kita tidak lagi perduli kepada lingkungan sosialnya. Ia menuturkan sangat jarang generasi dibawahnya terutama yang muda-muda mau berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan seperti ngayah, dan sebagainya.

Hal yang sama juga ternyata dirasakan oleh beberapa teman-teman yang aktif di kampus atau yang sering dipanggil aktivis kampus. Dalam sebuah obrolan ringan menjelang malam dengan seorang teman ada sebuah pertanyaan yang hampir sama dengan kegelisahan sang tokoh tadi. ”Mengapa mahasiswa-mahasiswa Hindu atau kader-kader muda Hindu kita tidak mau aktif dalam kegiatan sosial keagamaan?,” tuturnya.

Tidak berhenti disitu, pertanyaannya juga secara tidak langsung ternyata ditujukan kepada senior ataupun sang tokoh yang dituakan tadi. ”Mengapa senior dan ’orang tua’ kita tidak memberikan pembinaan sehingga ada sebuah proses transformasi? Dan yang ironis lagi, mengapa yang muda seolah terus dieksploitasi sementara tidak ada pembinaan kepada generasi muda tadi.”

Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin juga ada para generasi-generasi muda lainnya. Memang ada sebuah kecenderungan yang muda dituntut untuk memberikan kontribusi namun sering tidak dibarengi dengan pembinaan sehingga terjadi proses transformasi. Bagaimana mereka-mereka yang muda mau berkecimpung sementara tidak ada sesuatu nilai-nilai yang mereka dapatkan. Atau memang ada sebuah kepercayaan pada generasi tua seperti iklan ditelevisi bahwa yang muda belum dipercaya.

Mahasiswa yang notabene adalah kaum muda adalah generasi yang siap menampung nilai-nilai dari generasi yang lebih tua. Mahasiswa dan kaum muda adalah aset yang suatu saat akan mewarisi seluruh potensi yang ada. Bila ini tidak disadari dari sekarang dan tidak ada penanaman nilai-nilai yang dianggap benar sejak dini suatu saat kita akan kehilangan aset itu.

Mereka ibarat pohon, sebut saja pohon mangga. Untuk menghasilkan buah mangga yang segar dan baik (tidak busuk) pohon mangga tersebut harus dipelihara dengan baik pula. Tentu hasil atau buah tersebut tidak seketika. Ada sebuah proses yang harus dilakukan untuk mendapatkan buah yang baik. Pohon tersebut harus dipupuk secukupnya, pemberian pengobatan agar terhindar dari hama-hama maupun penyakit lainnya. Bila itu dilakukan secara baik tentu akan dihasilkan buah yang baik pula, segar dan enak untuk dimakan. Menjadi ironis kalau kita tidak pernah menanam pohon mangga, tidak pernah memeliharanya, kemudian mau memetik buahnya.

Analogi tersebut tampaknya berlaku juga untuk kaderisasi kaum muda. Kaum muda perlu mendapatkan ’pupuk’ berupa penanaman nilai-nilai yang diyakini membawa perubahan untuk perbaikan. Ketika semangat mereka surut perlu adanya dukungan yang akan menjadi ’air’ penyejuk sehingga mereka akan segar kembali. Kalau ini dilakukan kelak tentu mereka akan menghasilkan ’buah’ yang siap untuk dipetik.

Untuk memulai menanamkan nilai-nilai kepada kaum muda ada beberapa cara. Dari pengamatan penulis dapat dimulai dari bawah yang berarti ada dorongan dari kalangan muda itu sendiri untuk mengajak senior atau orang tua untuk bersama-sama menanam agar kelak ada suatu buah yang dihasilkan. Kedua, dorongan itu memang muncul dari atas yang berarti memang ada niatan dari senior atau orang tua untuk meneruskan sistem yang telah dibentuk agar ada kelangsungan dan perbaikan terus menerus. Ketiga karena ada suatu benturan sehingga ada paradigma baru untuk melahirkan sistem alias menanam kembali.

Faktor-faktor itu tentu akan menjadi wilayah penciptaan kader yang akan menghasilkan buah segar yang dapat dinikmati oleh si penanam ataupun siempunya. Lantas bagaimana distribusi buah-buah yang sudah siap tersebut? Dimana wilayah pasar atau dimana pasnya buah tersebut dijual agar memiliki pembeli dan harga pasar yang pas?

Itu juga akan menjadi masalah tersendiri. Faktor distribusi kader juga menjadi masalah kalau tidak disiapkan sejak awal. Begitu juga dengan posisi persaingan yang harus dilihat kedepan. Kalau tidak buah tersebut tidak akan memiliki nilai yang berarti karena hanya dapat dimakan sekali tanpa ada sebuah kontinuitas.

Untuk mewujudkan hal ini memang membutuhkan paradigma atau cara pandang sebagai suatu perjuangan yang akan memberikan manfaat dan hasil yang dicita-citakan. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan generasi Hindu akan ’naik kelas’?

share yuk:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *